Selasa, 29 November 2011

Romantika di Panggung Al Huda


Dengan semangat menggebu dan mata berbinar sang ketua panitia berpekik, “Kita berkumpul dalam ‘Sehari belajar menulis bersama Tere Liye dan Yusuf Mansur, eh maaf, Yusuf Maulana…,” tawa segar pun sontak bergemuruh dari sekitar tiga ratus tiga puluh peserta yang memenuhi ruangan itu.

Unik. Mungkin itulah  kesan pertama workshop yang digelar oleh BMW Al Huda FBS UNY hari Sabtu, 26 November 2011. Peserta dimanjakan dengan suguhan yang kreatif. Seting tempat yang tak membosankan, pemandu acara yang cukup entertaint, hiburan yang unik, hingga pembicara kawakan, seakan menjadi sebuah romantika yang tersusun dengan rapih.

Dari mulai pembukaan, workshop kepenulisan ini memang cukup menyentak para peserta. Tak hanya karena pemandu acara yang memiliki diferensiasi dalam membawakan sebuah pelatihan, namun juga rangkaian sub acara formal lain yang dipoles berbeda. Contohnya misal, dua orang pemandu acara membuat semacam pagelaran mini drama untuk memantik awalan sebuah pelatihan. Atau, pembacaan ayat suci Al Qur’an yang diterjemahkan dalam lima bahasa. Terdengar atraktif dan menggelikan.

Menurut Ahmad Lutfi, ketua Al Huda FBS UNY, segenap pengurus UKM Al Huda menyelenggarakan acara ini karena berangkat dari sebuah kegelisahan. Sebagai mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni, mereka ingin menjadikan seni sebagai sarana untuk berdakwah, “Alhamdulillah acara yang berangkat dari sebuah kegelisahan ini bisa terlaksana. Kami berharap Al Huda bisa bermanfaat. Sebab, kami ingin menjadi yang bermanfaat untuk sesama. Tak hanya sekedar seni, seni, dan seni.”

Acara yang dibuka oleh Kepala Bagian Humas Kerjasama dan Protokoler Fakultas, Bapak Win Fuji, ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama stadium general, bagian kedua pelatihan menulis bersama Tere Liye, dan bagian ketiga pelatihan menulis bersama Yusuf Maulana.

Dalam suasana riuh, peserta pun terperangah oleh seorang moderator yang membuka stadium general dengan terlebih dahulu melantunkan sebuah puisi. “Pernah bertanya pada pena yang berdecit…,” katanya seketika. Suara khas perempuan yang lembut, serta jilbab lebar abu-abu yang membungkus ringkihnya, cukup untuk menyita perhatian peserta. Apalagi ketika membacakan susunan kata indah yang padat makna, membuat setiap orang kagum kepada mahasisiwi yang bernama Wulan Bila ini.

Ia pun dengan gesit namun tetap anggun memanggil dua orang pembicara. Seorang mantan ketua DPM REMA UNY, yang disapa akrab Mbak Tin, serta seorang penulis buku “Segenggam Rindu Untuk Istriku,” yang bernama Bapak Budi.

Setelah berada diatas panggung, keduanya menjelaskan kepenulisan dengan bidangnya masing-masing. “Penulis itu ada dua,” kata mantan ketua DPM yang juga berjilabab ini. “Pertama, penulis yang aktualisasi diri, dan kedua penulis yang aktualisasi ideologi. Penulis yang hanya sekedar aktualisasi diri, biasanya menulis ketika ada mood atau ada yang memuji. Sedangkan yang kedua, ia menulis karena ingin menyampaikan aspirasi. Sehingga biasanya jenis penulis yang kedua ini lebih konsisten,” paparnya. Sebagai seorang mantan ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa dan mantan pengurus UKM Al Huda UNY, penjelasannya menyiratkan semangat yang berapi dan penuh dengan sebuah idealisme. Terutama sisi keislamannya yang cukup kental.

Berbeda dengan Mbak Tin, Pak Budi seakan memberikan angin segar dalam acara stadium general tersebut. Penampilan necis, janggut berwibawa, serta air muka yang “berbau komedi” menjadi paduan yang tepat untuk mengimbangi kesan serius dari mantan ketua DPM itu. Banyolan ringan pun sesekali ia lontarkan disela-sela penjelasannya. “Jangan beralasan tak menulis karena memiliki keterbatasan. Dulu, saya mendapat juara kedua dalam sebuah sayembara novel di Jakarta. Dan pengen tahu siapa yang jadi juara pertamanya?,” segenap peserta pun diberikan ruang untuk menarik nafas sejenak demi mendengarkan penjelasan yang berikutnya.

“Dia adalah seorang guru sekolah dasar yang tak memiliki komputer. Di sela-sela kesibukannya mengajar, ia menulis diatas sebuah kertas. Lalu setelah selesai, dikirimkan ke jasa pengetikan. Namanya Bu Ngatilah. Bayangkan, dari namanya saja tak marketable untuk menjadi seorang penulis….,” gemuruh tawa meledak dari para peserta yang memerhatikan dengan serius. Bahkan sebagian ada yang terpingkal sambil memegang perutnya.

Tak hanya itu, aroma keseriusannya untuk menulis pun tercium dari penjelasannya yang runut. “Kita menulis bukan karena tren atau ikut-ikutan, melainkan karena sebuah idealisme. Menulislah karena landasan sebuah ideologi. Bayangkan, penyerangan Israel ke Palestina itu karena terinspirasi oleh sebuah novel karya Teodor Hezl,” katanya serius. Dan para peserta pun kini tercengang.

Stadium general akhirnya ditutup dengan diskusi ringan bersama seorang pemilik komunitas blogger. Dialah Zen. Mahasiswa angkatan 2007 ini memiliki sebuah komunitas yang bernama hacym.com.

Setelah berfoto dan penyerahan kenang-kenganan, ketiga pembicara dan moderator seketika kembali ke tempat duduk masing-masing. Kini panggung Al Huda kembali lengang. Yang ada hanyalah secercah cahaya yang menyemburat tegas dari setiap bola lampu.

Namun itu tak lama. Barang beberapa detik kemudian, dua orang pemandu acara kembali mewarnai arena dengan candaannya yang segar. Setelah membagikan door prize,  keduanya menjelaskan tentang sistem pelatihan berikutnya. Lagi-lagi, keunikan mewarnai setiap acara. Dua orang pemandu acara itu menjelaskan, ternyata pelatihan dibagi menjadi dua kelas. Kelas “buku” dan kelas “pena.” Mungkin tujuannya demi efektivitas, mengingat jumlah peserta yang melebihi target. Masing-masing akan dipandu oleh pemateri yang berbeda. Lalu pada saatnya, kedua pemateri tersebut digilirkan.

Peserta yang duduk di semester tiga ke atas, serta yang sudah bekerja, ditempatkan di kelas buku. Ruangannya ada di gedung yang berbeda. Sedangkan mahasiswa yang masih duduk di bangku kuliah semester satu atau dua, dan bahkan yang masih SMA, berada di kelas lainnya.

Setelah berada di ruangan, peserta kelas buku pun disuguhkan oleh seorang pembicara yang sudah ditunggu sejak pagi. Dia adalah seorang penulis novel best seller, Tere Liye. Pun, ini sangat mengagetkan para peserta. Seorang pria muda dengan mata sipit, kaos oblong hitam bertuliskan “It’s oke For You”,  celana jeans lusuh, serta sandal jepit swallow, tiba-tiba memasuki panggung yang berukuran cukup luas ini. Dan ternyata, tanpa ada yang menduga sama sekali, dia adalah pembicara utama pagi hari itu. Desas desus pun langsung terdengar disela-sela ia membuka acara.

Sebelum memulai acara, nada ketegasan dari seorang pembicara utama mengalir, “Saya lihat diantara peserta ada yang membawa banyak buku saya. Tapi maaf, tidak ada sesi penandatanganan buku atau sesi foto bareng. Disini kita hanya akan belajar menulis!. Silahkan bertanya, tapi dengan satu syarat. Yaitu, tidak boleh menanyakan hal-hal yang menyangkut dengan novel saya, ataupun latar belakang saya. Juga, saya minta semua panitia duduk dan belajar menulis bersama-sama. Soalnya terkadang panitia itu hanya sibuk sendiri. Padahal mereka tak mendapat manfaat dari acara yang diselenggarakannya. Tutup pintunya.”

Segenap peserta pun kini mengikuti permintaan penulis yang bernama asli Darwis ini. Ia adalah seorang akuntan lulusan Jurusan Akuntansi Universitas Indonesia. Demi memotivasi peserta, ia membuat tes singkat terkait dengan kepenulisan. Lalu setelah skornya diketahui, dengan nada santai ia berkata,

“Jika diminta untuk mengajarkan bagaimana ilmu menulis, saya tidak tahu. Apalagi berbagai macam teknik lainnya. Hanya saja, saya sudah menulis dua puluh lima novel. Yang sudah diterbitkan baru empat belas novel. Dan saya pun sudah menulis sepuluh juta kata,” runutnya. Meski sekilas terdengar sedikit narsis, namun dari cara menyampaikan para peserta menangkapnya sebagai sebuah motivasi untuk dicontoh.

 Sebetulnya, kesederhanaan dan kerendahan hati sangat tampak sekali ketika ia memberikan pelatihan. Terlebih ketika menyampaikan definisi penulis yang baik, “Penulis yang baik adalah yang menulis karena menyenangkan, tidak dipaksa, maupun terpaksa. Juga yang tidak peduli dengan banyaknya komentar, tingginya penjualan, banyaknya orang yang membaca, serta baik atau buruknya tulisan.” Tak hanya itu, ia mengeksplorasi lebih rinci terkait dengan “diharamkannya” menulis hanya karena menginginkan hal-hal yang sifatnya tak abadi, seperti pujian atau komentar. “Menulislah agar bermanfaat,” katanya pula di kesempatan yang lain.

Selepas pelatihan bersama Tere Liye, peserta pun kini diroling. Sekitar pukul 13.00 WIB, setelah istirahat, peserta berpindah ruangan ke gedung sebelah. Kelas “Buku” kini saatnya memasuki ruangan dengan pembicara yang berbeda. Yusuf Maulana, nama pembicara kedua itu.

Sosok putih dan berkecamata kini menyampaikan materi dengan detil. Gaya bicaranya yang tenang menjadi variasi tersendiri setelah sebelumnya mendengarkan Tere Liye yang cenderung berapi-api. “Menulis agar buku best seller itu, tak dicita-citakan,” katanya. Nampaknya tak ada perbedaan yang cukup signifikan antara Tere Liye dengan Yusuf Maulana. Keduanya memiliki prinsip yang sama, yaitu mengajarkan agar menjadi penulis yang bermanfaat, bukan yang memburu keuntungan duniawi semata. Namun walau bagaimana pun, sesi kedua ini tetap ada perbedaan dari segi materi. Jika sesi yang pertama Tere Liye lebih memfokuskan bagaimana caranya menjadi seorang penulis yang baik, sedangkan Yusuf Maulana memberikan ilmunya bagaimana cara untuk menindaklanjuti sebuah tulisan.

Panitia memang cukup baik dalam menata sebuah acara. Sehingga walaupun waktu yang disediakan sangat panjang, akan tetapi tetap tak merasa adanya kejenuhan.

Tanpa terasa ashar pun tiba. Setelah menunaikan ibadah shalat ashar, ratusan peserta kembali menempati tempat yang berbeda. Yaitu ruangan aula yang tadi pagi digunakan untuk stadium general. Sebagian nampak pulang ke rumah masing-masing. Tak mengikuti acara penutupan. Namun sebagian besar peserta masih setia mengikuti acara penutupan.

Benar saja. Lima orang pemuda dengan pakaian variatif memasuki panggung. Mereka tergabung dengan nama “Josyid”, sebuah grup nasyid milik Al Huda. Penampilannya yang lincah dan atraktif mampu menghilangkan kepenatan yang bersarang di sendi-sendi para peserta. Paduan antara bahasa tubuh yang lucu serta lirik nasyid yang penuh hikmah, seakan membawa angin segar di dalam aula itu. Sehingga, kini tinggal tawa riang pun menyambut hari yang semakin senja.

Rupanya emosi peserta sengaja diaduk oleh panitia. Sebuah lirik lagu “…ditumpake kreto jowo…ditutupi ambyang-ambyang…disirame bayune kembang…” tiba-tiba saja mengalir dari mulut mungil anak-anak lereng gunung merapi. Mereka tampil setelah grup nasyid tersebut selesai. Ada sekitar dua puluh orang disana. Suasana kini mengharu biru. Penampilannya yang polos menjadi kelebihan tersendiri untuk mengetuk pintu hati para peserta. Terlebih saat ini mereka menyanyikan sebuah lagu tentang kehidupan yang tak akan lama. Seakan mengajak kita untuk merenung. Mungkin, bahkan cukup mengingatkan kepada tokoh Delisa dalam novel karya Tere Liye yang berkarakter polos menggemaskan.

Setelah semua hiburan selesai ditampilkan, acara pun ditutup dengan pengumuman pemenang berbagai macam lomba yang diselenggarakan beberapa minggu sebelumnya.

Seiring dengan hari yang semakin senja, pelatihan pun ditutup dengan indah. Serangkaian acara yang dimulai sejak pukul 07.00 WIB hingga pukul 17.15 WIB, terangkai dengan tepat. Kepenatan pun nampak tak dirasakan oleh para peserta. Tak hanya pengetahuan dan spirit yang didapat, olah emosional pun amat dirasakan. Para peserta seakan telah memasuki sebuah romantika  yang terangkai dari mulai pagi hingga sore hari.

Kamis, 24 November 2011

Riwayat Mahasiswa Tingkat Akhir



“Gimana skripsinya?,” itulah pertanyaan favorit yang kerap menghujani mahasiswa tingkat akhir. Memang terkesan perhatian, namun jika tak disikapi dengan bijak terkadang cukup menjemukan.

Tak hanya itu sebenarnya. Pertanyaan lain yang senada pun kerap menjadi pilihan. “Sudah kompre?.” Ya, itulah pertanyaannya. Menempati favorit kedua setelah pertanyaan yang berbau skripsi.

Namun ternyata di lingkungan mahasiswa program internasional lain lagi. Pertanyaan semacam, “TOEFL nya sudah lulus?,” nampaknya mendapat posisi favorit ketiga.

Pertanyaan berbau basa basi yang bertopik skripsi dan kompre memang seringkali terdengar di lingkungan kampus. Khususnya diantara mahasiswa tingkat akhir. Baik itu akhir semester tujuh, sembilan, sebelas, tiga belas, atau empat belas. Tak hanya pagi, siang, sore, bahkan malam pun tak jarang menyelinap melalui media handphone. Dan dalam berbagai variasi kalimat. Seperti, “Piye skripsimu?,” “Progresnya sudah sampai mana?,” “Eh, kemarin katanya bimbingan ya? Gimana hasilnya?.” Atau yang lebih menyakitkan, “Rencana ujian pendadaran kapan?”

Fiuh, galau!. Mungkin itu yang dirasakan oleh si mahasiswa tingkat akhir. Terlebih jika progres skripsinya berjalan begitu lambat. Dan sangat lambat. Nyaris berjalan di tempat.

Bayangan jadi mahasiswa abadi pun mulai berkelebatan. Rasa sesal karena tak serius kuliah sejak semester pertama mulai terpikirkan. Apalagi jika mengingat masih menjadi tanggungan orang tua. Seakan menjadi orang yang tak berguna.

Tapi begitulah riwayat perjalanan mahasiswa tingkat akhir. Selalu penuh dengan warna dan cerita. Kaya akan sensasi yang memacu adrenalin. Mulai dari dosen pembimbing yang super teliti, ujian komprehensif yang belum mendapat takdir, hingga mata kuliah yang bermasalah, menjadi rangkaian episode yang terajut dengan kusut.

Teringat sebuah jargon yang saya temukan di salah satu media jejaring sosial, “Tuhan Bersama Mahasiswa Tingkat Akhir.” Memang ada benarnya –jika tak disebut memang sangat benar-. Ibaratnya manusia pada umumnya, Tuhan, Allah swt, senantiasa berpihak untuk kebaikan manusia. Tak hanya mahasiswa tingkat akhir. Namun, seperti kata para ustadz yang sering menyampaikan ceramah agama itu, bahwa manusia sering menjadi alim ketika dalam posisi kepepet. Sehingga menjadikannya semacam tempat pelarian.

Dan bagi mahasiswa tingkat akhir, barangkali jargon itulah pelariannya. Atau, setidaknya menjadi sebuah alibi yang menentramkan hati.

Tetapi, walau bagaimana pun, yah, begitulah mahasiswa tingkat akhir. 


Gambar Ilustrasi:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjH_jlJuKHpbR2qKxA3n3PEEhogNorV0YYa1WNkbqihfBaRIq1hS7K1JFaUXwVVrA5mlHH84IM0T8IYfHEZYOl-8CPJU4IDaSka47jLqF6Gv0HMqq83v-p8eYNYeMXOMhyuEK4I5z6F8vDd/s1600/nasib+mahasiswa+tingkat+akhir+-+hidup+mahasiswa.jpg

Selasa, 22 November 2011

Satu Rindu


Hujan, gemericikmu mengingatkankau pada satu rindu. Diam-diam kau telah membawa sebagian badai otaku melesat jauh kesana. Aku ingat, dulu kehangatan itu kurasakan. Canda tawa, bincang riang, dan  tegur lembut, kerap mengulas soreku bersamamu. Semua itu keluar dari hatinya yang selembut salju. Namun terkadang ada setitik hati yang memaksaku ‘tuk benci padanya. Bahkan hardikan pun kerap terlontar.

Karena kau, hujan. Kini kuterbayang tentang guratan lesu di wajahnya. Air mukanya sungguh memilukan. Daster yang dipakainya amat kusam. Bahkan, suaranya mulai parau. Pedulikah kau dengan itu, hujan?. Ah, kau mungkin hanya menyaksikanku sembari menurunkan rahmat dari sang Penguasa waktu. Sementara ingatanku terbang kesana kemari tak keruan. Dan kini kau terus membasahiku angkuh.

Aku ingat, suatu ketika dia memintaku agar rajin belajar. “Kau belajar yang tekun ya, Hasan”. Aku pun mengangguk malas. Agar tak panjang lebar bercengkrama dengannya. Karena, aku sudah muak dengan omong kosongnya itu.

Malahan sedikit pun tak pernah kuhiraukan perintahnya. Alih-alih rajin belajar, aku malah asik bermain dengan teman-temanku.

Sampai suatu hari dia sakit keras. Amat lesu. Suaranya yang parau pun kini mulai terputus. Daster yang dipakainya hanya menggantung di pintu kamar.  Yang amat membuatku pilu, ternyata dia rela makan satu hari sekali demi membiayaiku. Bahkan, untuk menutupi kebutuhan sekolahku, adakalanya tak makan. Sehingga kini penyakit yang dideritanya kambuh.

Juga, ternyata selama ini dia berhutang sana sini. Hanya agar aku punya sepatu dan tas yang baru. Agar aku tak diejek teman-temanku. Sebab, sejak kepergian ayahku saat aku masih dalam kandungan, dia lah yang menjadi tulang punggung keluarga.

Kau tahu siapa itu, duhai hujan? Ya, dia ibuku.

Dialah yang memperkenalkanku dengan Nya. Yang membangunkanku untuk shalat shubuh. Yang menegurku ketika salah. Serta, yang rela mengorbankan apa saja agar aku senang.

Hujan, aku pinta pada sang Maha Penggenggam setiap keputusan agar selalu menjaganya. Meski mungkin kini ‘tlah jauh dariku. Namun tak apa. Aku mohon biarkanlah aku berarti untuk dirinya. Berikanlah aku waktu ‘tuk berbakti padanya.

Ya Allah, sungguh kau tahu, tak banyak bakti yang telah kutorehkan untuk Mu. Dosaku pun sebanyak buih di lautan. Namun aku mohon, agar ada sebagian dari hidupku yang berguna untuknya. Ada sejengkal dari tubuhku yang kukorbankan demi kebahagiaannya. Atau, ada walau hanya sedetik dari waktuku yang kuberikan padanya.

Hujan, kau dengar?. Kau telah mengingatkanku padanya. Dan kini, aku hanya bisa tersungkur dengan renyang. 


Gambar ilustrasi:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgn4MeCGKhMtyjtkDzDUG-PjFsANrOCMP2xXN2iU_kJHxAEitWthLqFNdcr4P66MU7_rEzvdJTeNoAL_zwkHFhHD_fOIwoZUOAh8A6RDS_m-ZVc5YMaAUrXGxdbpmWIQAnT5OJ3Orkn6wI/s1600/hujan.jpg

Selasa, 15 November 2011

Ronggeng untuk Pak Menteri


Siang itu panas sekali. Sang mentari menatap tegas para pejabat kampus. Mereka berjubel di depan sebuah gedung yang baru. Empat lantai tingginya. Sangat mewah.
Batik cokelat yang dipadukan dengan celana hitam meliliti tubuhnya. Rapih. Rambutnya disisir ala tahun delapan puluhan.
Di gerbang kampus pak polisi tegak berdiri lengkap dengan bedil panjang. Sebuah kotak hitam digenggamnya. Terdengar gemerisik suara meyelinap dari lubang kotak hitam itu. Dan sesekali kata “ganti” keluar dari mulut pak polisi yang lancip.
“Pak menteri sudah berada di kilometer sepuluh. Lima menit lagi masuk lokasi. Pastikan keadaan aman!,” suara tegas dan kaku itu berasal dari kotak hitam yang di genggam salah satu polisi.
“Siap!,” sahutnya.
Melalui komando seorang pria berpakaian safari, para pejabat kampus itu dengan sigap mengubah posisi. Mereka kini berjajar anggun. Beberapa nampak merapihkan rambutnya.
Selang beberapa jenak iring-iringan mobil yang mengangkut pak menteri meraung seram. Suara gagahnya memecah keheningan kampus islam tertua di negeri ini.
“Pak menteri wis tekan,” kata salah seorang petugas cleaning service dengan muka takjub.
Kini pak menteri bersalaman dengan para pejabat kampus itu. Setelah acara dimulai ia memberikan sambutan. Sekaligus meresmikan gedung yang berdiri anggun dihadapannya.
“Gedung perpustakaan ini saya resmikan dengan bersama-sama membaca basmalah…”
“Bismillaahirrahmaanirrahiim”
Tepuk tangan pun kini bergemuruh.
Seusai acara, pak menteri berfoto dengan para pejabat kampus. Dan diikuti dengan melakukan berbagai macam tanda tangan. Termasuk tanda tangan diatas batu besar sebagai tanda resminya gedung ini.
Tepat disamping gedung yang diresmikan itu berdiri megah sebuah masjid. Kubahnya berwarna kuning. Dari gerbang di pinggir jalan masjid ini nampak tegap berdiri. Kini dari sana kini mengalir syahdu kumandang adzan. Pertanda masuk shalat dzuhur.
Akan tetapi disamping masjid, pak menteri sedang meresmikan gedung baru. Bahkan menurut rundown acara kini saatnya hiburan, bukan shalat dzuhur.
Seorang penabuh gendang ditemani dua orang penabuh lainnya mulai beraksi. Seorang ronggeng seksi dengan pakaian kebaya ketat pun menari di depan pak menteri. Lenggokannya mengalahkan si juru adzan.
Hingga kini, mungkin sampai beberapa menit ke depan, pak menteri, pak rektor, dan beberapa pejabat kampus islam tertua di negeri ini  tergiur oleh ronggeng muda belia. Sementara si juru adzan tetap sabar berteriak dengan suaranya yang serak.
Dan ternyata menurut kabar burung, pak menteri dan para pejabat kampus itu menikmati alunan ronggeng sampai shalat dzuhur kloter pertama selesai. Maklum saja, pak menteri kan datang untuk meresmikan gedung baru dan menikmati lenggokan sang ronggeng, bukan untuk shalat dzuhur. Begitu pun para pejabat kampus islam lain.