Senin, 16 Januari 2012

Kotak Hitam(ibu)ku

http://yanzhie.files.wordpress.com/2010/08/pasrah_2.jpg
Sudah hampir lima tahun, ibu.

Di pojok kamar berukuran tiga kali empat meter itu aku terdiam. Cahaya yang berasal dari lampu Philips menyemburat ke setiap celah ruangan. Sesekali suara sepeda motor terdengar. Radio butut milik ibu kos pun mengabarkan berbagai macam berita dari sudut kota Yogyakarta.

Sementara itu, aku bersimpuh di karpet biru sambil menghadap ke sebuah kotak hitam. Diatasnya berdiri tegap antena alumunium yang tersambung dengan kabel abu-abu. Kotak hitam itu setiap hari mengabarkanku seputar perkembangan dunia luar secara audio visual. Dari mulai berita tentang akan bangkrutnya negeri ini, hingga hiburan picisan khas seniman nusantara yang, mungkin, sebagian telah disetir para penguasa.

Ya, kotak hitam itu amat berharga bagiku. Ia mampu mengobatiku kala suka maupun duka. Disaat lelap belum menjelang, ia lah yang mengantarkanku ke batas tidur. Akibat tertidur, aku seringkali lupa tak mematikannya hingga secercah fajar subuh mengulas malam. Dan, tagihan listrik bulanan pun melonjak drastis. Namun tak apa, toh masih bisa ngutang barang satu atau dua bulan.

Mungkin itulah kisah kotak hitam yang kini tertegun berhadapan denganku di sebuah kamar kos di kota Yogyakarta. Selalu penuh dengan kenangan. Dan mungkin ia lah yang setia menemaniku sejak pertama kali kelopak mataku menatap dunia. Jika dibandingkan, umurnya jauh lebih tua dariku. Bisa dibilang kotak hitam itulah pengasuhku hingga usiaku kini beranjak dua puluh dua.

Ahh…, kotak hitamku. Usiamu yang jauh lebih tua dariku mengingatkanku pada majikanmu yang dulu. Yang menjadi tumpuan harapan hidupku. Yang aku dijanjikan surga dibawah telapak kakinya.

Duhai ibuku, sedang apakah kau disana?

[]

Seorang wanita paruh baya berjalan dengan gontai menyusuri pematang sawah. Kulitnya mulai keriput, air mukanya menyisakan selaksa pahit getir kehidupan. Ia memandangi para petani yang sedang menanam padi. Dari bibirnya yang melintang mirip daun sirih, ia tak hentinya bercerita tentang apa saja yang ia ingat. Mungkin bermaksud untuk menghibur para petani itu. Dan benar saja, sesekali gelak tawa terdengar di sela-sela kesibukannya menancapkan batangan padi.

“Saya mah hari ini teh merasa panas sekali. Eroh, kesini sebentar! Coba kau tanyakan ke warung Mang Endin, dia jualan es atau tidak,” perintahnya ke salah satu wanita yang sedang menanam padi itu.

Bi Eroh, namanya. Ia tangan kanan ibuku. Dulu, orang tua Bi Eroh juga bekerja di sawah ibuku. Dan warung Mang Endin itu, adalah satu-satunya warung yang selalu setia melayani para petani di sawah.

“Iya, buruan beli sana, Eroh! Panas pisan euy,” kata teman-temannya yang lain  sekedar untuk menanggapi perintah ibuku. Meskipun Bi Eroh sering menjadi bulan-bulanan, namun kehidupan para petani selalu ceria. Tak ada dendam. Ejekan memang kerap terlontar, tapi justru itulah yang teracik menjadi bumbu keakraban.

Pergi ke sawah sambil memerhatikan para petani yang bekerja adalah kebiasaanku saat liburan sekolah tiba. Ketika itu mungkin usiaku sekitar tujuh atau delapan tahunan. Perlengkapan yang dibawa pun tak banyak. Hanya sebuah kotak nasi dan sebuah kendi air. Untuk mencapai sepetak sawah milik keluargaku kami harus berjalan kaki sekitar dua atau tiga kilometer. Eh, maksudku yang berjalan kaki hanyalah ibuku. Sementara aku menaiki sepeda. Alasanku pun polos saja, ya karena menaiki sepeda itu jauh lebih asik daripada berjalan kaki.

Akan tetapi, itu hanyalah kenangan saat aku duduk di bangku sekolah dasar. Semuanya berubah dengan sangat cepat ketika ayahku meninggal. Aku masih duduk di kelas dua Madrasah Tsanawiyah (SMP). Sejak itu, ibuku yang selalu ceria tak ada lagi. Mungkin keceriaan sudah pergi jauh meninggalkannya. Hari demi hari hanya dilaluinya dengan duduk diatas kursi sambil terkadang diam-diam kristal bening menetes dari kelopak matanya yang sendu. Sejak itu ia tak pernah lagi pergi ke sawah. Semua urusan yang berhubungan dengan pertanian yang telah dibangunnya sejak ia masih belia, ia tinggalkan. Duduk diatas kursi dengan tatapan mata kosong adalah kesibukannya sehari-hari. Cerita tentang ayah pun selalu saja ia ulang-ulang. Dari mulai pertemuan pertamanya, saat menikah, hingga suka duka membangun rumah tangga. Meski yang ia ceritakan hanya itu-itu saja.

Sejak saat itu, ibu meminta untuk merubah semua tata letak perabotan di rumah. Ia pun turut membereskan barang-barang milik ayah yang sudah saatnya dipindahtangankan kepada yang membutuhkan. Meski dengan air mata yang terus meleleh diatas pipinya, ia masih mencoba untuk tetap tegar membantu membereskan itu semua.

Hingga suatu hari, kakaku membelikan sebuah televisi dua puluh satu inci bermerek SHARP dengan warna silver. Dan entah mengapa hari itu ibuku nampak ceria. Dengan tergopoh, ia mendekati televisi yang lama, kotak hitam itu. Dengan nada optimis ia berkata,

“Uman, kesini sebentar. Ibu minta tolong, kamu angkat televisi ini dan masukan ke lemari di kamar depan.”

“Maksud ibu?,” tanyaku bernada meninggi.

“Iya. Nanti televisi ini buat kamu saat kuliah. Di Jogja.”

Sontak aku dan kakakku yang berada di dekatnya tertawa terbahak bernada mengejek.

“Bu, si Uman itu kuliahnya mungkin tiga atau empat tahun lagi. Sekarang Madrasah Tsanawiyah saja belum lulus. Ibu ini ada-ada saja,” timpal kakaku.

[]

Do’a ibuku ternyata terkabul. Kini aku tengah kuliah, dan sebuah televisi empat belas inci bermerek SONY berbentuk kotak yang berwarna hitam telah berada persis di depanku. Di kota Yogyakarta.

Mungkin akulah orang yang paling berdosa pada ibuku. Aku baru ingat ketika dulu memasukan kotak hitam itu ke sebuah lemari, suaraku bercampur melecehkan. Seakan tak mungkin aku ketika kuliah kelak masih bisa merasakan manfaat dari benda kotak hitam itu. Mengingat umur ekonomisnya yang sudah sangat tua.

Namun permintaan maafku mungkin sia-sia. Sebab, saat aku pulang kampung, yang kutemui hanyalah pusaranya. Aku tak lagi bisa menatap wajahnya yang mulai keriput. Juga tak ada lagi canda tawa, apalagi pergi ke sawah bersama. Kini semuanya sudah berlalu. Tepat tiga tahun setelah ayahku meninggal, disaat aku duduk di bangku kelas dua SMA, ibuku pun pergi untuk selamanya. Ia menyandang penyakit gagal ginjal, hingga harus cuci darah berbulan-bulan lamanya.

Dan, kini, aku hanya mampu memandangi kotak hitam itu walau cukup menyesakan pikiran. Tak ‘kan ada lagi acara pergi ke sawah. Tak ‘kan sempat lagi menatap ‘tuk ucapkan kata maaf.


Duh, ibu, maafkan aku. Kau kini telah berbaring dengan tenang disamping pusara ayah. Hanya sebentuk batu nisan yang bisa kutatap, dan hanya sepenggal do’a yang mampu kuberikan.

Maafkan anakmu yang belum sempat membahagiakanmu. Do’amu sungguh maqbul, ibuku. Harapanmu melampaui ingatan seluruh penghuni langit dan bumi. Cita-citamu ‘tuk bahagiakanku melewati batas-batas kemungkinan logika.

Ya Allah, bukankah engkau telah berjanji bahwa do’a anak yang sholeh mampu mengantarkan orang tuanya ke SurgaMu?! Aku kini, wahai Yang Maha Benar. Aku menagih janji Mu itu. Jadikanlah aku anak yang sholeh, ya Allah. Agar mampu menemani ibu dan ayah di surgaMu.

Tak apa Engkau mengambilnya begitu cepat, karena aku yakin keputusanMu itu yang terbaik untuku. Tapi, ya Allah. Aku ingin suatu saat kami sekeluarga berkumpul kembali di SurgaMu. Menjadi tetangga dekat rasulMu, ya Allah. Amin.