Senin, 16 Januari 2012

Kotak Hitam(ibu)ku

http://yanzhie.files.wordpress.com/2010/08/pasrah_2.jpg
Sudah hampir lima tahun, ibu.

Di pojok kamar berukuran tiga kali empat meter itu aku terdiam. Cahaya yang berasal dari lampu Philips menyemburat ke setiap celah ruangan. Sesekali suara sepeda motor terdengar. Radio butut milik ibu kos pun mengabarkan berbagai macam berita dari sudut kota Yogyakarta.

Sementara itu, aku bersimpuh di karpet biru sambil menghadap ke sebuah kotak hitam. Diatasnya berdiri tegap antena alumunium yang tersambung dengan kabel abu-abu. Kotak hitam itu setiap hari mengabarkanku seputar perkembangan dunia luar secara audio visual. Dari mulai berita tentang akan bangkrutnya negeri ini, hingga hiburan picisan khas seniman nusantara yang, mungkin, sebagian telah disetir para penguasa.

Ya, kotak hitam itu amat berharga bagiku. Ia mampu mengobatiku kala suka maupun duka. Disaat lelap belum menjelang, ia lah yang mengantarkanku ke batas tidur. Akibat tertidur, aku seringkali lupa tak mematikannya hingga secercah fajar subuh mengulas malam. Dan, tagihan listrik bulanan pun melonjak drastis. Namun tak apa, toh masih bisa ngutang barang satu atau dua bulan.

Mungkin itulah kisah kotak hitam yang kini tertegun berhadapan denganku di sebuah kamar kos di kota Yogyakarta. Selalu penuh dengan kenangan. Dan mungkin ia lah yang setia menemaniku sejak pertama kali kelopak mataku menatap dunia. Jika dibandingkan, umurnya jauh lebih tua dariku. Bisa dibilang kotak hitam itulah pengasuhku hingga usiaku kini beranjak dua puluh dua.

Ahh…, kotak hitamku. Usiamu yang jauh lebih tua dariku mengingatkanku pada majikanmu yang dulu. Yang menjadi tumpuan harapan hidupku. Yang aku dijanjikan surga dibawah telapak kakinya.

Duhai ibuku, sedang apakah kau disana?

[]

Seorang wanita paruh baya berjalan dengan gontai menyusuri pematang sawah. Kulitnya mulai keriput, air mukanya menyisakan selaksa pahit getir kehidupan. Ia memandangi para petani yang sedang menanam padi. Dari bibirnya yang melintang mirip daun sirih, ia tak hentinya bercerita tentang apa saja yang ia ingat. Mungkin bermaksud untuk menghibur para petani itu. Dan benar saja, sesekali gelak tawa terdengar di sela-sela kesibukannya menancapkan batangan padi.

“Saya mah hari ini teh merasa panas sekali. Eroh, kesini sebentar! Coba kau tanyakan ke warung Mang Endin, dia jualan es atau tidak,” perintahnya ke salah satu wanita yang sedang menanam padi itu.

Bi Eroh, namanya. Ia tangan kanan ibuku. Dulu, orang tua Bi Eroh juga bekerja di sawah ibuku. Dan warung Mang Endin itu, adalah satu-satunya warung yang selalu setia melayani para petani di sawah.

“Iya, buruan beli sana, Eroh! Panas pisan euy,” kata teman-temannya yang lain  sekedar untuk menanggapi perintah ibuku. Meskipun Bi Eroh sering menjadi bulan-bulanan, namun kehidupan para petani selalu ceria. Tak ada dendam. Ejekan memang kerap terlontar, tapi justru itulah yang teracik menjadi bumbu keakraban.

Pergi ke sawah sambil memerhatikan para petani yang bekerja adalah kebiasaanku saat liburan sekolah tiba. Ketika itu mungkin usiaku sekitar tujuh atau delapan tahunan. Perlengkapan yang dibawa pun tak banyak. Hanya sebuah kotak nasi dan sebuah kendi air. Untuk mencapai sepetak sawah milik keluargaku kami harus berjalan kaki sekitar dua atau tiga kilometer. Eh, maksudku yang berjalan kaki hanyalah ibuku. Sementara aku menaiki sepeda. Alasanku pun polos saja, ya karena menaiki sepeda itu jauh lebih asik daripada berjalan kaki.

Akan tetapi, itu hanyalah kenangan saat aku duduk di bangku sekolah dasar. Semuanya berubah dengan sangat cepat ketika ayahku meninggal. Aku masih duduk di kelas dua Madrasah Tsanawiyah (SMP). Sejak itu, ibuku yang selalu ceria tak ada lagi. Mungkin keceriaan sudah pergi jauh meninggalkannya. Hari demi hari hanya dilaluinya dengan duduk diatas kursi sambil terkadang diam-diam kristal bening menetes dari kelopak matanya yang sendu. Sejak itu ia tak pernah lagi pergi ke sawah. Semua urusan yang berhubungan dengan pertanian yang telah dibangunnya sejak ia masih belia, ia tinggalkan. Duduk diatas kursi dengan tatapan mata kosong adalah kesibukannya sehari-hari. Cerita tentang ayah pun selalu saja ia ulang-ulang. Dari mulai pertemuan pertamanya, saat menikah, hingga suka duka membangun rumah tangga. Meski yang ia ceritakan hanya itu-itu saja.

Sejak saat itu, ibu meminta untuk merubah semua tata letak perabotan di rumah. Ia pun turut membereskan barang-barang milik ayah yang sudah saatnya dipindahtangankan kepada yang membutuhkan. Meski dengan air mata yang terus meleleh diatas pipinya, ia masih mencoba untuk tetap tegar membantu membereskan itu semua.

Hingga suatu hari, kakaku membelikan sebuah televisi dua puluh satu inci bermerek SHARP dengan warna silver. Dan entah mengapa hari itu ibuku nampak ceria. Dengan tergopoh, ia mendekati televisi yang lama, kotak hitam itu. Dengan nada optimis ia berkata,

“Uman, kesini sebentar. Ibu minta tolong, kamu angkat televisi ini dan masukan ke lemari di kamar depan.”

“Maksud ibu?,” tanyaku bernada meninggi.

“Iya. Nanti televisi ini buat kamu saat kuliah. Di Jogja.”

Sontak aku dan kakakku yang berada di dekatnya tertawa terbahak bernada mengejek.

“Bu, si Uman itu kuliahnya mungkin tiga atau empat tahun lagi. Sekarang Madrasah Tsanawiyah saja belum lulus. Ibu ini ada-ada saja,” timpal kakaku.

[]

Do’a ibuku ternyata terkabul. Kini aku tengah kuliah, dan sebuah televisi empat belas inci bermerek SONY berbentuk kotak yang berwarna hitam telah berada persis di depanku. Di kota Yogyakarta.

Mungkin akulah orang yang paling berdosa pada ibuku. Aku baru ingat ketika dulu memasukan kotak hitam itu ke sebuah lemari, suaraku bercampur melecehkan. Seakan tak mungkin aku ketika kuliah kelak masih bisa merasakan manfaat dari benda kotak hitam itu. Mengingat umur ekonomisnya yang sudah sangat tua.

Namun permintaan maafku mungkin sia-sia. Sebab, saat aku pulang kampung, yang kutemui hanyalah pusaranya. Aku tak lagi bisa menatap wajahnya yang mulai keriput. Juga tak ada lagi canda tawa, apalagi pergi ke sawah bersama. Kini semuanya sudah berlalu. Tepat tiga tahun setelah ayahku meninggal, disaat aku duduk di bangku kelas dua SMA, ibuku pun pergi untuk selamanya. Ia menyandang penyakit gagal ginjal, hingga harus cuci darah berbulan-bulan lamanya.

Dan, kini, aku hanya mampu memandangi kotak hitam itu walau cukup menyesakan pikiran. Tak ‘kan ada lagi acara pergi ke sawah. Tak ‘kan sempat lagi menatap ‘tuk ucapkan kata maaf.


Duh, ibu, maafkan aku. Kau kini telah berbaring dengan tenang disamping pusara ayah. Hanya sebentuk batu nisan yang bisa kutatap, dan hanya sepenggal do’a yang mampu kuberikan.

Maafkan anakmu yang belum sempat membahagiakanmu. Do’amu sungguh maqbul, ibuku. Harapanmu melampaui ingatan seluruh penghuni langit dan bumi. Cita-citamu ‘tuk bahagiakanku melewati batas-batas kemungkinan logika.

Ya Allah, bukankah engkau telah berjanji bahwa do’a anak yang sholeh mampu mengantarkan orang tuanya ke SurgaMu?! Aku kini, wahai Yang Maha Benar. Aku menagih janji Mu itu. Jadikanlah aku anak yang sholeh, ya Allah. Agar mampu menemani ibu dan ayah di surgaMu.

Tak apa Engkau mengambilnya begitu cepat, karena aku yakin keputusanMu itu yang terbaik untuku. Tapi, ya Allah. Aku ingin suatu saat kami sekeluarga berkumpul kembali di SurgaMu. Menjadi tetangga dekat rasulMu, ya Allah. Amin.

Selasa, 29 November 2011

Romantika di Panggung Al Huda


Dengan semangat menggebu dan mata berbinar sang ketua panitia berpekik, “Kita berkumpul dalam ‘Sehari belajar menulis bersama Tere Liye dan Yusuf Mansur, eh maaf, Yusuf Maulana…,” tawa segar pun sontak bergemuruh dari sekitar tiga ratus tiga puluh peserta yang memenuhi ruangan itu.

Unik. Mungkin itulah  kesan pertama workshop yang digelar oleh BMW Al Huda FBS UNY hari Sabtu, 26 November 2011. Peserta dimanjakan dengan suguhan yang kreatif. Seting tempat yang tak membosankan, pemandu acara yang cukup entertaint, hiburan yang unik, hingga pembicara kawakan, seakan menjadi sebuah romantika yang tersusun dengan rapih.

Dari mulai pembukaan, workshop kepenulisan ini memang cukup menyentak para peserta. Tak hanya karena pemandu acara yang memiliki diferensiasi dalam membawakan sebuah pelatihan, namun juga rangkaian sub acara formal lain yang dipoles berbeda. Contohnya misal, dua orang pemandu acara membuat semacam pagelaran mini drama untuk memantik awalan sebuah pelatihan. Atau, pembacaan ayat suci Al Qur’an yang diterjemahkan dalam lima bahasa. Terdengar atraktif dan menggelikan.

Menurut Ahmad Lutfi, ketua Al Huda FBS UNY, segenap pengurus UKM Al Huda menyelenggarakan acara ini karena berangkat dari sebuah kegelisahan. Sebagai mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni, mereka ingin menjadikan seni sebagai sarana untuk berdakwah, “Alhamdulillah acara yang berangkat dari sebuah kegelisahan ini bisa terlaksana. Kami berharap Al Huda bisa bermanfaat. Sebab, kami ingin menjadi yang bermanfaat untuk sesama. Tak hanya sekedar seni, seni, dan seni.”

Acara yang dibuka oleh Kepala Bagian Humas Kerjasama dan Protokoler Fakultas, Bapak Win Fuji, ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama stadium general, bagian kedua pelatihan menulis bersama Tere Liye, dan bagian ketiga pelatihan menulis bersama Yusuf Maulana.

Dalam suasana riuh, peserta pun terperangah oleh seorang moderator yang membuka stadium general dengan terlebih dahulu melantunkan sebuah puisi. “Pernah bertanya pada pena yang berdecit…,” katanya seketika. Suara khas perempuan yang lembut, serta jilbab lebar abu-abu yang membungkus ringkihnya, cukup untuk menyita perhatian peserta. Apalagi ketika membacakan susunan kata indah yang padat makna, membuat setiap orang kagum kepada mahasisiwi yang bernama Wulan Bila ini.

Ia pun dengan gesit namun tetap anggun memanggil dua orang pembicara. Seorang mantan ketua DPM REMA UNY, yang disapa akrab Mbak Tin, serta seorang penulis buku “Segenggam Rindu Untuk Istriku,” yang bernama Bapak Budi.

Setelah berada diatas panggung, keduanya menjelaskan kepenulisan dengan bidangnya masing-masing. “Penulis itu ada dua,” kata mantan ketua DPM yang juga berjilabab ini. “Pertama, penulis yang aktualisasi diri, dan kedua penulis yang aktualisasi ideologi. Penulis yang hanya sekedar aktualisasi diri, biasanya menulis ketika ada mood atau ada yang memuji. Sedangkan yang kedua, ia menulis karena ingin menyampaikan aspirasi. Sehingga biasanya jenis penulis yang kedua ini lebih konsisten,” paparnya. Sebagai seorang mantan ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa dan mantan pengurus UKM Al Huda UNY, penjelasannya menyiratkan semangat yang berapi dan penuh dengan sebuah idealisme. Terutama sisi keislamannya yang cukup kental.

Berbeda dengan Mbak Tin, Pak Budi seakan memberikan angin segar dalam acara stadium general tersebut. Penampilan necis, janggut berwibawa, serta air muka yang “berbau komedi” menjadi paduan yang tepat untuk mengimbangi kesan serius dari mantan ketua DPM itu. Banyolan ringan pun sesekali ia lontarkan disela-sela penjelasannya. “Jangan beralasan tak menulis karena memiliki keterbatasan. Dulu, saya mendapat juara kedua dalam sebuah sayembara novel di Jakarta. Dan pengen tahu siapa yang jadi juara pertamanya?,” segenap peserta pun diberikan ruang untuk menarik nafas sejenak demi mendengarkan penjelasan yang berikutnya.

“Dia adalah seorang guru sekolah dasar yang tak memiliki komputer. Di sela-sela kesibukannya mengajar, ia menulis diatas sebuah kertas. Lalu setelah selesai, dikirimkan ke jasa pengetikan. Namanya Bu Ngatilah. Bayangkan, dari namanya saja tak marketable untuk menjadi seorang penulis….,” gemuruh tawa meledak dari para peserta yang memerhatikan dengan serius. Bahkan sebagian ada yang terpingkal sambil memegang perutnya.

Tak hanya itu, aroma keseriusannya untuk menulis pun tercium dari penjelasannya yang runut. “Kita menulis bukan karena tren atau ikut-ikutan, melainkan karena sebuah idealisme. Menulislah karena landasan sebuah ideologi. Bayangkan, penyerangan Israel ke Palestina itu karena terinspirasi oleh sebuah novel karya Teodor Hezl,” katanya serius. Dan para peserta pun kini tercengang.

Stadium general akhirnya ditutup dengan diskusi ringan bersama seorang pemilik komunitas blogger. Dialah Zen. Mahasiswa angkatan 2007 ini memiliki sebuah komunitas yang bernama hacym.com.

Setelah berfoto dan penyerahan kenang-kenganan, ketiga pembicara dan moderator seketika kembali ke tempat duduk masing-masing. Kini panggung Al Huda kembali lengang. Yang ada hanyalah secercah cahaya yang menyemburat tegas dari setiap bola lampu.

Namun itu tak lama. Barang beberapa detik kemudian, dua orang pemandu acara kembali mewarnai arena dengan candaannya yang segar. Setelah membagikan door prize,  keduanya menjelaskan tentang sistem pelatihan berikutnya. Lagi-lagi, keunikan mewarnai setiap acara. Dua orang pemandu acara itu menjelaskan, ternyata pelatihan dibagi menjadi dua kelas. Kelas “buku” dan kelas “pena.” Mungkin tujuannya demi efektivitas, mengingat jumlah peserta yang melebihi target. Masing-masing akan dipandu oleh pemateri yang berbeda. Lalu pada saatnya, kedua pemateri tersebut digilirkan.

Peserta yang duduk di semester tiga ke atas, serta yang sudah bekerja, ditempatkan di kelas buku. Ruangannya ada di gedung yang berbeda. Sedangkan mahasiswa yang masih duduk di bangku kuliah semester satu atau dua, dan bahkan yang masih SMA, berada di kelas lainnya.

Setelah berada di ruangan, peserta kelas buku pun disuguhkan oleh seorang pembicara yang sudah ditunggu sejak pagi. Dia adalah seorang penulis novel best seller, Tere Liye. Pun, ini sangat mengagetkan para peserta. Seorang pria muda dengan mata sipit, kaos oblong hitam bertuliskan “It’s oke For You”,  celana jeans lusuh, serta sandal jepit swallow, tiba-tiba memasuki panggung yang berukuran cukup luas ini. Dan ternyata, tanpa ada yang menduga sama sekali, dia adalah pembicara utama pagi hari itu. Desas desus pun langsung terdengar disela-sela ia membuka acara.

Sebelum memulai acara, nada ketegasan dari seorang pembicara utama mengalir, “Saya lihat diantara peserta ada yang membawa banyak buku saya. Tapi maaf, tidak ada sesi penandatanganan buku atau sesi foto bareng. Disini kita hanya akan belajar menulis!. Silahkan bertanya, tapi dengan satu syarat. Yaitu, tidak boleh menanyakan hal-hal yang menyangkut dengan novel saya, ataupun latar belakang saya. Juga, saya minta semua panitia duduk dan belajar menulis bersama-sama. Soalnya terkadang panitia itu hanya sibuk sendiri. Padahal mereka tak mendapat manfaat dari acara yang diselenggarakannya. Tutup pintunya.”

Segenap peserta pun kini mengikuti permintaan penulis yang bernama asli Darwis ini. Ia adalah seorang akuntan lulusan Jurusan Akuntansi Universitas Indonesia. Demi memotivasi peserta, ia membuat tes singkat terkait dengan kepenulisan. Lalu setelah skornya diketahui, dengan nada santai ia berkata,

“Jika diminta untuk mengajarkan bagaimana ilmu menulis, saya tidak tahu. Apalagi berbagai macam teknik lainnya. Hanya saja, saya sudah menulis dua puluh lima novel. Yang sudah diterbitkan baru empat belas novel. Dan saya pun sudah menulis sepuluh juta kata,” runutnya. Meski sekilas terdengar sedikit narsis, namun dari cara menyampaikan para peserta menangkapnya sebagai sebuah motivasi untuk dicontoh.

 Sebetulnya, kesederhanaan dan kerendahan hati sangat tampak sekali ketika ia memberikan pelatihan. Terlebih ketika menyampaikan definisi penulis yang baik, “Penulis yang baik adalah yang menulis karena menyenangkan, tidak dipaksa, maupun terpaksa. Juga yang tidak peduli dengan banyaknya komentar, tingginya penjualan, banyaknya orang yang membaca, serta baik atau buruknya tulisan.” Tak hanya itu, ia mengeksplorasi lebih rinci terkait dengan “diharamkannya” menulis hanya karena menginginkan hal-hal yang sifatnya tak abadi, seperti pujian atau komentar. “Menulislah agar bermanfaat,” katanya pula di kesempatan yang lain.

Selepas pelatihan bersama Tere Liye, peserta pun kini diroling. Sekitar pukul 13.00 WIB, setelah istirahat, peserta berpindah ruangan ke gedung sebelah. Kelas “Buku” kini saatnya memasuki ruangan dengan pembicara yang berbeda. Yusuf Maulana, nama pembicara kedua itu.

Sosok putih dan berkecamata kini menyampaikan materi dengan detil. Gaya bicaranya yang tenang menjadi variasi tersendiri setelah sebelumnya mendengarkan Tere Liye yang cenderung berapi-api. “Menulis agar buku best seller itu, tak dicita-citakan,” katanya. Nampaknya tak ada perbedaan yang cukup signifikan antara Tere Liye dengan Yusuf Maulana. Keduanya memiliki prinsip yang sama, yaitu mengajarkan agar menjadi penulis yang bermanfaat, bukan yang memburu keuntungan duniawi semata. Namun walau bagaimana pun, sesi kedua ini tetap ada perbedaan dari segi materi. Jika sesi yang pertama Tere Liye lebih memfokuskan bagaimana caranya menjadi seorang penulis yang baik, sedangkan Yusuf Maulana memberikan ilmunya bagaimana cara untuk menindaklanjuti sebuah tulisan.

Panitia memang cukup baik dalam menata sebuah acara. Sehingga walaupun waktu yang disediakan sangat panjang, akan tetapi tetap tak merasa adanya kejenuhan.

Tanpa terasa ashar pun tiba. Setelah menunaikan ibadah shalat ashar, ratusan peserta kembali menempati tempat yang berbeda. Yaitu ruangan aula yang tadi pagi digunakan untuk stadium general. Sebagian nampak pulang ke rumah masing-masing. Tak mengikuti acara penutupan. Namun sebagian besar peserta masih setia mengikuti acara penutupan.

Benar saja. Lima orang pemuda dengan pakaian variatif memasuki panggung. Mereka tergabung dengan nama “Josyid”, sebuah grup nasyid milik Al Huda. Penampilannya yang lincah dan atraktif mampu menghilangkan kepenatan yang bersarang di sendi-sendi para peserta. Paduan antara bahasa tubuh yang lucu serta lirik nasyid yang penuh hikmah, seakan membawa angin segar di dalam aula itu. Sehingga, kini tinggal tawa riang pun menyambut hari yang semakin senja.

Rupanya emosi peserta sengaja diaduk oleh panitia. Sebuah lirik lagu “…ditumpake kreto jowo…ditutupi ambyang-ambyang…disirame bayune kembang…” tiba-tiba saja mengalir dari mulut mungil anak-anak lereng gunung merapi. Mereka tampil setelah grup nasyid tersebut selesai. Ada sekitar dua puluh orang disana. Suasana kini mengharu biru. Penampilannya yang polos menjadi kelebihan tersendiri untuk mengetuk pintu hati para peserta. Terlebih saat ini mereka menyanyikan sebuah lagu tentang kehidupan yang tak akan lama. Seakan mengajak kita untuk merenung. Mungkin, bahkan cukup mengingatkan kepada tokoh Delisa dalam novel karya Tere Liye yang berkarakter polos menggemaskan.

Setelah semua hiburan selesai ditampilkan, acara pun ditutup dengan pengumuman pemenang berbagai macam lomba yang diselenggarakan beberapa minggu sebelumnya.

Seiring dengan hari yang semakin senja, pelatihan pun ditutup dengan indah. Serangkaian acara yang dimulai sejak pukul 07.00 WIB hingga pukul 17.15 WIB, terangkai dengan tepat. Kepenatan pun nampak tak dirasakan oleh para peserta. Tak hanya pengetahuan dan spirit yang didapat, olah emosional pun amat dirasakan. Para peserta seakan telah memasuki sebuah romantika  yang terangkai dari mulai pagi hingga sore hari.

Kamis, 24 November 2011

Riwayat Mahasiswa Tingkat Akhir



“Gimana skripsinya?,” itulah pertanyaan favorit yang kerap menghujani mahasiswa tingkat akhir. Memang terkesan perhatian, namun jika tak disikapi dengan bijak terkadang cukup menjemukan.

Tak hanya itu sebenarnya. Pertanyaan lain yang senada pun kerap menjadi pilihan. “Sudah kompre?.” Ya, itulah pertanyaannya. Menempati favorit kedua setelah pertanyaan yang berbau skripsi.

Namun ternyata di lingkungan mahasiswa program internasional lain lagi. Pertanyaan semacam, “TOEFL nya sudah lulus?,” nampaknya mendapat posisi favorit ketiga.

Pertanyaan berbau basa basi yang bertopik skripsi dan kompre memang seringkali terdengar di lingkungan kampus. Khususnya diantara mahasiswa tingkat akhir. Baik itu akhir semester tujuh, sembilan, sebelas, tiga belas, atau empat belas. Tak hanya pagi, siang, sore, bahkan malam pun tak jarang menyelinap melalui media handphone. Dan dalam berbagai variasi kalimat. Seperti, “Piye skripsimu?,” “Progresnya sudah sampai mana?,” “Eh, kemarin katanya bimbingan ya? Gimana hasilnya?.” Atau yang lebih menyakitkan, “Rencana ujian pendadaran kapan?”

Fiuh, galau!. Mungkin itu yang dirasakan oleh si mahasiswa tingkat akhir. Terlebih jika progres skripsinya berjalan begitu lambat. Dan sangat lambat. Nyaris berjalan di tempat.

Bayangan jadi mahasiswa abadi pun mulai berkelebatan. Rasa sesal karena tak serius kuliah sejak semester pertama mulai terpikirkan. Apalagi jika mengingat masih menjadi tanggungan orang tua. Seakan menjadi orang yang tak berguna.

Tapi begitulah riwayat perjalanan mahasiswa tingkat akhir. Selalu penuh dengan warna dan cerita. Kaya akan sensasi yang memacu adrenalin. Mulai dari dosen pembimbing yang super teliti, ujian komprehensif yang belum mendapat takdir, hingga mata kuliah yang bermasalah, menjadi rangkaian episode yang terajut dengan kusut.

Teringat sebuah jargon yang saya temukan di salah satu media jejaring sosial, “Tuhan Bersama Mahasiswa Tingkat Akhir.” Memang ada benarnya –jika tak disebut memang sangat benar-. Ibaratnya manusia pada umumnya, Tuhan, Allah swt, senantiasa berpihak untuk kebaikan manusia. Tak hanya mahasiswa tingkat akhir. Namun, seperti kata para ustadz yang sering menyampaikan ceramah agama itu, bahwa manusia sering menjadi alim ketika dalam posisi kepepet. Sehingga menjadikannya semacam tempat pelarian.

Dan bagi mahasiswa tingkat akhir, barangkali jargon itulah pelariannya. Atau, setidaknya menjadi sebuah alibi yang menentramkan hati.

Tetapi, walau bagaimana pun, yah, begitulah mahasiswa tingkat akhir. 


Gambar Ilustrasi:
http://3.bp.blogspot.com/-BD0fW6vOl-M/TiUx645QOVI/AAAAAAAAAGQ/zSk7V6eVzqM/s1600/nasib+mahasiswa+tingkat+akhir+-+hidup+mahasiswa.jpg