Senin, 11 Juli 2011

Sarjana Muda


Aku berjalan dengan enggan. Tubuhku gontai. Peluh deras mengucuri tubuhku. Pikiranku terasa berat. Suara kendaraan yang menderu terus menyayat telingaku. Mobil-mobil saling berkejaran, satu mobil melesat terdepan, kemudian disalip mobil satunya...
Jaket lusuh yang kukenakan perlahan kulepaskan. Gedung pencakar langit masih terpaku disana. Mereka seakan mencaciku sebagai orang yang tidak berguna. Kulihat bola lampu yang ada di trotoar terus dipermainkan oleh angin. Mereka semua mengejeku. Angin yang bercampur polusi jalanan terus saja mengahampiriku. Ia tidak mengabarkan tentang kegembiraan. Melainkan menyampaikan gelombang udara yang memekakan telingaku.
                Gelombang udara itu tak henti-hentinya menghantuiku. Suara yang diam-diam menyusup di telingaku pun menjalar di pikiranku. Suara itu datang dengan bertubi-tubi. Suara itu, yang membuatku putus asa. Patah semangat. Mengabarkan padaku untuk diam terpaku. Ya, suara itu bertubi-tubi mencabik-cabik hatiku. Bersamaan dengan menyelinapnya suara itu di telingaku, aku menyapu lingkungan sekitar. Siang itu begitu kelabu. Rumput liar hijau yang menjadi taman jalanan, dan semua pohon, diam-diam menggeliat membuka tunas-tunasnya. Hari ini, aku nyaris bisa merasakan itu dalam tubuhku sendiri, menjalarnya getah dalam pohon-pohon besar, ke atas, terus naik, naik, naik, hingga ke ujung, sampai disana mendesak ke dalam daun-daun pohon kecil, seakan tampak merah matang seperti darah.
 Kulihat alam begitu bersahabat dengan suara itu. Kudengar kicauan burung yang sedari tadi mengejeku, pun bersahabat dengan suara itu. Kau mau tahu suara apa yang kudengar itu? Ah, rasanya tidak perlu diceritakan. Lidahku tidak kuat menceritakannya padamu. Mungkin suara itu sangat lihai menyembunyikan kegetirannya. Ia terkadang menjelma menjadi deretan kata. Deretan kata-kata yang dianyam menjadi sebuah kalimat. Kalimat yang, jika dibaca, akan terdengar menyayat di indera pendengaran. Seperti berjuta-juta manusia lain di negeri ini, kini aku pun termasuk orang yang terkena imbas suara itu. Terpaksa aku katakan dengan lidah kelu.  Suara yang menjelma menjadi anyaman kata-kata itu adalah : “Maaf tidak ada Lowongan”
                Pengangguran. Mungkin begitulah orang lebih pantas memanggilku. Tubuhku kini dipenuhi dengan keringat yang bercampur debu jalanan. Air mukaku lesu, Bibirku kering, Sinar mataku mulai redup, Langkahku terseok menyusuri lautan manusia di pinggiran kota. Letih, Suaraku mulai parau. Sudah ratusan surat lamaran kulayangkan, namun tidak satu pun yang dihiraukan. Kesabaranku sudah mulai habis. Mati!. Mungkin aku lebih baik mati!. Kadang pikiran itu hinggap di kepalaku. “Mana yang dulu dijanjikan?,” batinku memberontak.
                Aku sangat kesal. Aku, yang dulu begitu percaya diri karena diterima di kampus bergengsi di negeri ini, kini harus menerima kenyataan yang begitu pedih. Aku, yang dulu berdecak kagum karena berhasil menyandang gelar mahasiswa, kini harus menerima kenyataan yang begitu pahit, duduk di emper jalanan bak seorang gelandangan. Ijazahku yang sedari tadi kutenteng ternyata tiada guna. Empat tahun aku bergelut dengan buku ternyata sia-sia. Sesalku begitu membahana. Kini aku hanyalah seorang sarjana muda yang sedang resah mencari kerja.
                Mana ijazah yang dulu hendak kujadikan jaminan masa depan itu? Mana hasil kerja kerasku selama empat tahun? Kemanakah isi buku-buku tebal yang dulu menjanjikanku dengan kata-kata manisnya? Siapa yang salah? Kampus yang menawarkan pembodohan tersistem? Atau aku yang jadi mahasiswa tak berguna selama di bangku kuliah? Mahasiswa yang selalu sibuk menyiapkan kertas contekan saat menjelang ujian? Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengganggu pikiranku. Darahku yang mengalir di sekujur tubuhku turut memberontak. Sahutan nafasku mulai tak berirama.
                Akhirnya, setelah putus asa, dengan suara kelu, aku berucap: “Maaf Ibu…!”

0 komentar:

Posting Komentar