Senin, 04 Juli 2011

...antara setan prestatif dan aktivis dakwah kampus…


Perkenalkan, aku selebriti. Namaku sangat terkenal. Bahkan sejak sebelum manusia diciptakan aku sudah sangat dikenal di sejagat raya ini. Aku mempunyai gelar yang diabadikan dalam Al Qur’an. Ya, setan gelarku. Aku cukup bangga menyandang gelar itu. Apalagi kini aku termasuk setan yang cukup berprestasi. Aku mendapatkan berbagai macam medali dan penghargaan dari tokoh-tokoh besar sebangsaku. Kau lihat saja, berbagai macam piala kini berdiri megah di kediamanku. 

                Kau pasti penasaran bukan kenapa aku menjadi seorang kader setan prestatif?. Semua prestasiku itu tak mungkin kuraih tanpa bantuan manusia yang sangat baik hati. Semua manusia yang rela berkorban demi mendukung prestasiku. Diantara sekian banyak manusia yang kini menjadi sahabatku, ada satu orang yang membuatku cukup tersanjung. Bahkan, aku menangis haru saking bahagianya. Ia mengorbankan semua amalnya hanya untuk menemaniku di neraka kelak. Kau mau tau, kawan? Oke kawan, kini saatnya kuceritakan padamu.

                Ia berasal dari jenis manusia. Juga mendapat gelar. Tak jauh beda denganku. Hanya saja bedanya jika gelarku selalu dicaci-maki, maka lain halnya dengan gelarnya. Gelar yang kini disandangnya cukup berwibawa. Bahkan jika dilihat sekilas mungkin akan tampak jika ia telah mempunyai kavling tanah di surga. Gelar itu bernama ikhwan

Sahabatku yang selalu setia bersamaku ini mengenakan celana berbahan kain yang dipotong diatas mata kaki yang dipadukan dengan jaket hitam berkerah gaya Amerika.  Tas rangsel berwarna hitam pun selalu menggelayut di punggungnya dengan setia. Tak hanya itu, jenggotnya yang rapih nampak sangat mendukung profesinya. Orang bilang sih ia adalah “aktivis dakwah kampus”. Profesi yang sangat keren, kawan. Bahkan sangat mulia!. Ya…setidaknya menurut para musuh-musuhku.

                Ia kini sangat bangga. Aktivis dakwah kampus!. Terdengar cukup membanggakan, bukan?. Setidaknya telah banyak orang yang menghormatinya karena profesinya ini. Apalagi setelah mereka tau kalau ia kini menjabat di posisi yang sangat sentral dalam sebuah lembaga dakwah. Mungkin bagi sebagian kawan-kawan yang juga memiliki gelar sepertiku, posisi ini sungguh sangat mengancam. Bahkan jika ada yang memegang posisi ini, artinya ia telah menyatakan perang besar dengan bangsaku.

Tapi lain halnya denganku. Aku, sebagai setan yang berprestasi, selalu jeli melihat peluang di segala kondisi. Bahkan seperti sekarang ini, aku manfaatkan posisinya di lembaga dakwah kampus untuk menemaniku kelak di neraka.

Setiap hari ia panggil teman-temannya dengan sebutan akhi dan ukhti . Mereka pun selalu memanggilnya dengan panggilan akhi, Akhi Jamal  tepatnya. Ah, panggilan yang terdengar cukup indah di telinga. Setidaknya menurut telingaku, bukan telingamu. O iya, satu lagi, ia sering sekali menyebutkan kata ane, afwan, afwan jiddan, hamasah, dan tsiqoh. Kau sudah yakin bukan kalau sahabatku ini aktivis dakwah kampus? Ikhwan, kawan!

                Ia nampak seperti orang soleh. Bahkan soleh banget deh. Sahabatku ini selalu berkata dengan bijak. Nasihat-nasihatnya yang selalu ia kirim lewat SMS cukup meyakinkan setiap orang bahwa ia adalah seorang aktivis dakwah kampus. Ingat, aktivis dakwah kampus, kawan! 

                 Tak hanya sekedar penampilan. Buku-buku yang selalu dibaca aktivis dakwah kampus lain pun sudah sangat sering ia baca. Para penulis jempolan, yang tentunya musuh besarku, seperti Ustd Hasan Al Banna, Ali Abdul Halim Mahmud, Fathi Yakan, Syait Kutb, Imam Ghazali, Dr. ‘Aidh Al Qorni, Yusuf Qardhawi, ataupun juga Ustd Anis Mata sudah sangat akrab di telinganya. Ia sudah sangat sering membaca buku-buku itu. Tujuannya tak lain dari sekedar untuk menambah keyakinan setiap orang kalau ia sebagai aktivis lembaga dakwah kampus. 

                Hatinya selalu tersanjung tatkala ada yang memanggil dengan sebutan akhi. Contohnya saja ketika itu, di suatu siang, tiba-tiba dari pojok kelas terdengar suara lembut dan mungil. Ia adalah seorang akhwat. Lewat bantuanku, aku biarkan ia memanggil namanya, “Akh…Akhi Jamal mau pulang? Gimana syuronya?”. Berkat kerja kerasku, aku berhasil berselancar lewat getaran udara yang berasal dari mulut si akhwat. Sehingga suara itu terdengar sangat manis dan mengesankan. Apalagi untuk seorang akhwat secantik itu. Ia, tentunya lewat bantuanku, menanggapinya dengan gaya yang sangat bijak. Aku suruh ia mengatur nafas, olah vocal agar suaranya terdengar bulat dan jelas, serta matanya aku biarkan agak sedikit menunduk. Bahkan, kadang pandangannya ia alihkan ke arah yang tak bersinggungan dengan akhwat itu. Orang bilang sih ghadul bashor. Tapi aku tak peduli itu ghadul bashor atau apalah namanya, yang penting semua itu ia lakukan demi sebuah gelar yang selama ini sangat kujaga. Gelar itu bernama ikhwan!. Tak apa buatku ia tak memandang lawan jenisnya itu. Toh aku sudah berhasil membiarkan ia memandang perempuan lain tanpa diketahui siapa pun.

            Bagaimana tipuanku? Cukup menyakinkan, bukan?. Aku kan sudah bilang padamu kawan kalau aku ini setan prestatif. 

Kudekap lembut ia jika waktu subuh tiba. Kubiarkan badanku menempel dengan badannya. Bahkan lewat kecerdikanku, ia tak pernah kubiarkan menginap di rumah teman-temannya yang kini menjadi musuhku. Apalagi di masjid. Aku bisikan saja padanya agar ia bisa shalat malam dengan lebih khusu’ di kosnya. Padahal itu hanya akal bulusku. Seingatku, walaupun ia sering berbicara tentang shalat malam, ia bahkan tak pernah sekali pun melakukannya. 

Aku dengan setia memeluknya mesra saat penghujung malam tiba. Bahkan hingga waktu subuh. Pelukanku terasa sangat hangat. Buktinya ia selalu tenang saat kupeluk. Aku dengan leluasa membelai lembut telinganya setiap adzan subuh berkumandang. Bahkan sering sekali aku berhasil menidurinya hingga matahari tepat berada dalam ketinggian satu tumbak. Tanpa shalat subuh tentunya.  
 
Itulah prestasiku, kawan. Sebab, kata nenek moyangku, Rasulullah saw pernah berkata:

“Sesungguhnya shalat yang paling berat dilaksanakan oleh orang-orang munafik adalah shalat isya dan shalat subuh. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak.” (HR. Al-Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651)

Bagaimana prestasiku? Patut diberikan penghargaan, bukan?

O iya, aku lupa, hatiku semakin senang setelah diberi tau dalam sebuah “Training for Satan” bahwa rasulullah pun pernah bersabda,

Pada hari kiamat, didatangkan seorang pria kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka hingga usus-ususnya keluar terburai dari perutnya, lalu ia berputar-putar di dalamnya sebagaimana seekor kedelai berputar mengitari penggilingan. Para penghuni neraka pun berkumpul dan berkata kepada orang itu : wahai Fulan, apa gerangan yang terjadi denganmu? Bukankah kamu dulu senantiasa beramar ma’ruf nahi munkar? Ia menjawab : betul, aku dulu memerintahkan kepada yang ma’ruf namun aku tidak melaksanakannya dan aku melarang dari yang munkar namun aku mengerjakannya. (Muttafaqun ‘alaihi)

Dan, ternyata akhi Jamal selalu menggembor-gemborkan hadits ini di depan semua orang tanpa merasa dirinya berdosa sedikit pun. Aku sungguh sangat senang. Apalagi jika kau, kawan, yang mengaku aktvis dakwah dan membaca hadits ini tanpa merasa takut sedikit pun, sungguh kau akan menjadi sobatku kelak. Aku sangat bahagia bercampur haru.

Mungkin sampai disini dulu perkenalanku, kawan. Aku sangat senang jika kelak suatu saat banyak sekali yang menjadi tetanggaku di neraka. Dan ingat satu hal. Aku mendapat surat tugas hanya menggoda dan mengajakmu ke neraka. Untuk menemaniku tentunya. Tapi jika kau sudah disana, itu bukan urusanku!

0 komentar:

Posting Komentar