Arswendo Atmowiloto, nama penanya. Ia termasuk sastrawan yang memiliki cukup bekal untuk merajut rangkaian kata dalam mengisahkan cerita tentang sebuah perkelahian. Novel silatnya yang cukup legendaris yaitu “Senopati Pamungkas”.
Dalam novel tersebut, sastrawan yang juga seorang dosen ini mampu mendeskripsikan perkelahian dalam detail yang cukup baik. Tak hanya berbagai macam jurus yang ia kuasai, kreativitas penyusunan diksinya pun patut diacungi jempol.
Rupanya tak hanya Bang Wendo, cerita fiksi Indonesia yang berbau perkelahian juga sempat mewarnai layar kaca Nusantara dengan lahirnya film “Merantau”. Film ini dibintangi seorang atlet pencak silat ternama Iko Uwais. Pun, digarap serius sang empu cerita. Sehingga tak heran jika gerakan demi gerakan silat dalam film ini begitu memukau dan menyihir penonton.
Akan tetapi, yang cukup menarik perhatian penulis bukanlah siapa yang mengarang cerita, atau bahkan bagaimana tingkat kesusastraannya. Yang ingin menjadi sorotan disini yaitu kaitannya dengan suasana yang dirasakan sang tokoh ketika mengalami perkelahian di kehidupan nyata.
Cerita fiksi pasti dibumbui berbagai macam “rempah-rempah” agar terkesan dramatis. Dari mulai penciptaan karakter tokoh, pembentukan seting, pengkondisian atmosfer bahasa, perangkaian plot, hingga pemilihan diksi. Ini wajar dan sah. Sebab, cerita fiksi dituntut menempelkan “efek” agar dapat meyakinkan pembacanya. Namun apakah benar perkelahian dalam kehidupan nyata memiliki “rasa” yang sama dengan cerita fiksi?
Menurut pengalaman pribadi penulis, suasana yang tercipta memang tak jauh berbeda dengan perkelahian dalam sebuah cerita fiksi. Tuntutan untuk terus waspada serta fokus mengamati gerakan lawan, menjadi tantangan tersendiri. Belum lagi jika berbicara masalah pengaturan nafas serta penekanan emosi. Mungkin akan menjadi bagian yang perlu mendapat pembahasan khusus. Bahkan tak hanya itu, jika suasananya dapat dikendalikan dengan baik, maka bukan tak mungkin sebuah perkelahian dapat menjadi ajang untuk pembinaan diri atau dikenal dengan istilah “tarbiyah.”
Tarbiyah Niat
“Kamu ikut olah raga bela diri?,” tanya salah seorang atlet taekwondo beberapa tahun yang lalu.
“Iya,” jawabku.
“Oh, biasanya sih hanya satu bulan,” komentarnya ringan.
“Maksudnya?”
“Iya, paling hanya satu bulan. Setelah itu berhenti deh”
Itulah penggalan percakapan penulis dengan salah seorang atlet taekwondo asal Tasikmalaya Jawa Barat. Menurut beliau, belajar ilmu berkelahi itu tak mudah. Perlu alasan yang sangat kuat mengapa seseorang mempelajarinya. Hal ini juga diamini oleh salah seorang pelatih Thifan Po Khan Tsufuk Yogyakarta, Devi. Ia mengatakan, jika orang yang ikut latihan Thifan niatnya kurang lurus, maka hampir dipastikan tak akan bertahan lama.
Kedua atlet dari cabang yang berbeda tersebut nampaknya memiliki kesamaan pandangan. Yaitu, bahwa niat yang kuat memiliki pengaruh yang signifikan.
Belum lagi jika membaca sejarah tokoh silat yang bernama Kahar. Ia adalah founding father pencak silat aliran Cimande. Pada awalnya beliau tak secara serius mempelajari ilmu silat. Yang dilakukannya hanyalah mempelajari berbagai macam gerakan binatang untuk dipraktekan ketika menghadapi perampok.
Saat itu, sekitar tahun 1760an, guru besar silat Cimande ini seringkali melakukan perjalanan dagang menyusuri hutan. Dan tak jarang pula ia harus berhadapan dengan binatang buas serta bromocorah. Sehingga lama kelamaan tanpa disadarinya ia menguasai teknik silat tersendiri yang dicurinya dari gerakan hewan. Beberapa diantaranya yakni teknik monyet menyerang dengan kayu menjadi “jurus pepedangan”, serangan dengan tangan yang kokoh menjadi “jurus pamacan”, serta teknik perkelahian antara monyet dengan seekor macan yang pernah dijumpainya menjadi “jurus kelid pamonyet”.
Kahar pada awalnya tak memilki keinginan untuk membuat sebuah aliran ilmu bela diri. Ia hanya bertekad kuat bagaimana caranya agar selamat dari para perampok. Sehingga konsekuensinya, ia harus mentarbiyah dirinya secara serius dengan berbagai macam ilmu olah kanuragan.
Tarbiyah Konsistensi
Sebuah hipotesis yang dapat penulis simpulkan yakni, jika orang yang belajar ilmu bela diri hanya ingin “gaya-gayaan” maka hampir dipastikan tak akan konsisten. Mungkin hanya satu atau dua bulan.
Salah satu contohnya misal, seorang yang ingin belajar ilmu bela diri silat Cimande harus menguasai sebanyak 33 jurus kelid Cimande, satu rangkaian jurus pepedangan yang terdiri dari elakan sebeulah - selup kuriling - jagangan - tagongan - piceunan - balungbang- balumbang sabeulah – opat likur buang dua kali – selup kuriling langsung – selop biohong, serta jurus tepak selancar. Dan yang perlu diingat, puluhan jurus tersebut merupakan jurus inti. Sedangkan jika seseorang yang belajar dari dasar, maka sebelumnya harus menguasai terlebih dahulu berbagai macam teknik dasar yang mungkin bisa menghabiskan waktu beberapa tahun.
Atau, cabang bela diri Thifan Po Khan Tsufuk. Dalam ilmu bela diri ini, seorang talmid (sebutan untuk murid) biasanya menyelesaikan beberapa rangkaian jurus dalam waktu yang tak kurang dari delapan tahun, atau bahkan bisa lebih. Pasalnya, ilmu bela diri pecahan dari Kungfu Shaolin ini memiliki ratusan jurus. Satu jurusnya saja jika dipelajari dengan serius menghabiskan waktu tiga hingga enam bulan.
Contohnya, rangkaian gerakan yang tergabung dalam Tsen Kai. Tsen Kai terdiri lebih dari enam tingkatan. Masing-masing tingkatan terdiri dari enam jurus. Satu paket enam jurus tersebut bisa dipelajari sekitar enam bulan. Bahkan satu tahun. Ini tergantung dengan kemampuan talmid. Belum termasuk jurus-jurus dasar. Juga, masih ditambah dengan jurus rangkaian pukulan tangan kosong, rangkaian tendangan, serta gerakan kuda-kuda. Yang lebih ekstrim, satu jurus harus diulang hampir seribu kali dalam setiap kali latihannya.
Bercermin dari kedua ilmu bela diri tersebut maka dapat ditarik benang merah bahwa belajar ilmu bela diri tak hanya belajar untuk menjadi seorang pendekar, namun juga belajar untuk menjadi ahli istiqomah. Betapa tidak, satu kali latihan saja harus rela menguras banyak energi. Bahkan tak jarang ada yang hingga muntah, padahal baru mengikuti gerakan pemanasan.
Tak heran jika beberapa ilmu bela diri mempercayai adanya kekuatan “tenaga dalam” yang dapat memperkuat dirinya dalam setiap pertandingan. Ini logis. Sebab kekuatan itu timbul dari gerak refleks yang terus menerus dilakukan dengan konsisten.
Tarbiyah Kesabaran
Mungkin ini sangat erat kaitannya dengan perkelahian jalanan, bukan saat latihan. Meskipun belakangan ini amat jarang perkelahian fisik jalanan yang diladeni dengan serius. Pasalnya, banyak perkelahian yang serba instan. Salah satu contohnya dengan membawa senjata tajam atau menenteng sebilah senapan.
Jika dilihat dari segi perkelahian, perkelahian jalanan memiliki kekurangan dan kelebihan tersendiri. Kekurangannya terletak pada senjata yang dimiliki lawan bisa dikeluarkan secara tiba-tiba. Ini sering terjadi jika di sekitar terjadinya perkelahian banyak terdapat benda keras seperti batu. Akibatnya, lawan bisa memanfaatkan benda-benda tersebut untuk menyerang dengan cara yang sangat instan.
Di sisi lain, pertarungan jalanan pun memiliki sisi positifnya. Pada umumnya, preman jalanan tak memiliki latar belakang ilmu bela diri yang cukup. Yang ia andalkan hanyalah keberanian dan jam terbang di lapangan. Sehingga seringkali mendapatkan telak tajam saat harus berhadapan dengan seorang atlet olah raga bela diri yang mempelajari teknik secara serius. Ini menjadi kelebihan tersendiri jika kita menjadi orang yang pernah mempelajari ilmu bela diri.
Terlepas dari medan perkelahian, agaknya ada satu hal yang disepakati oleh para petarung. Yakni kaitannya dengan kesabaran.
Orang yang melakukan perkelahian dengan serangan membabi-buta hampir dipastikan akan mengalami kekalahan. Tapi dengan syarat sang lawan tak terpengaruh nyalinya oleh serangan yang tak jelas tersebut. Atau, orang yang jika sebelum berkelahi sudah tersulut emosinya maka bisa diprediksi akan sangat mudah dilumpuhkan. Sebab, dalam setiap perkelahian, ketenangan adalah kuncinya. Makanya karakter sang shufu’ dalam film layar lebar kung fu selalu ditokohkan memiliki karakter yang amat tenang.
Tarbiyah kesabaran memang sangat mudah didapatkan dari ilmu perkelahian atau teknik bela diri. Hal ini juga berbanding lurus dengan latihan untuk meluruskan niat serta latihan untuk terus konsisten. Tanpa adanya niat yang kuat maka tak mungkin melahirkan konsistensi dalam setiap latihan. Tak berbeda juga kaitannya dengan kesabaran. Sebesar apa pun tingkat tekad seseorang, serta setinggi bagaimana pun tingkat konsistensinya, hampir tak akan berhasil jika tak dibarengi dengan kesabaran, baik saat latihan maupun ketika dalam arena pertandingan.
Kombinasi ketiganya penulis sebut dengan istilah “Tarbiyah Perkelahian”. Niat yang kuat, konsistensi yang tinggi, serta kesabaran yang murni, bukanlah lahir untuk belajar berkelahi, akan tetapi sebaliknya. Ketiganya terlahir dari sebuah perkelahian.
Orang yang sudah menguasai ilmu bela diri hampir dipastikan memiliki kombinasi ketiganya. Jika tidak, maka ilmu olah kanuragan yang ditempanya belum sempurna. Ia belum layak disebut sebagai seorang petarung. Sebab, seorang petarung sejati bukanlah yang selalu menggunakan ototnya dalam menjawab setiap permasalahan, melainkan yang sabar dalam menyembunyikan kemampuan ototnya. Perlu diingat pula bahwa seorang petarung adalah orang yang sangat pandai menghindari pekelahian secara fisik. Ini disebabkan oleh penguasaan ketiga kombinasi tarbiyah perkelahian yang penulis sebutkan.
Tarbiyah dalam Tangan “Sastrawan Silat”
Jika ditarik benang merah, hal ini ada kaitannya dengan kemampuan sastrawan dalam merangkai cerita fiksi silat yang telah dipaparkan diatas. Arswendo Atmowiloto mungkin salah satunya. “Suasana dan rasa” yang tercipta dalam perkelahian yang sesungguhnya memang tak jauh berbeda dengan yang dideskripsikan oleh tangan-tangan para sastrawan. Sebab, seperti yang pernah disebutkan oleh seorang penulis, Afrizal Malna, bahwa dalam menulis puisi atau cerita fiksi pada umumnya, dituntut untuk menulis dengan teknik berpikir dengan gambar.
Lewat memori sang penulis, menurutnya, personifikasi hal-hal yang ada di sekitarnya mengalami internalisasi dengan pengalaman yang pernah dialaminya. Lalu untuk menuangkannya dalam sebuah tulisan maka perlu diadakannya konstruksi pemaknaan wacana yang telah terinternalisasi dengan baik dalam pikiran sang penulis.
Dalam konteks perkelahian, tak dapat disalahkan jika sang penulis terkesan mendramatisasi gagasan yang ingin dituliskannya. Terlebih dalam cerita fiksi. Tujuannya hanya satu, yaitu agar pembaca mampu menangkap wacana yang terangkai dengan baik dalam pikirannya. Toh dalam kenyataannya, tak jauh berbeda suasana yang dirasakan antara tulisan yang disajikan dengan pengalaman perkelahian yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan nyata.
Dan, jika sang penulis mampu menggambarkan para tokoh silatnya dengan baik, suasana yang tercipta tersebut akan menghasilkan formula tarbiyah yang mengarahkannya menuju petarung sejati. Lewat niat yang lurus, ia dapat memicu konsistensi untuk belajar dengan baik. Begitu pun lewat kesabaran yang cukup, ia dapat mengatur suasana perkelahian seperti yang terdramatisasi lewat tangan kreatif penulis pada cerita fiksi.
Akhirnya, lewat tangan para sastrawan silat, pembaca dapat menangkap formula “tarbiyah perkelahian” untuk diaplikasikan dengan baik dalam kehidupan nyata. Namun, lewat perkelahian sesungguhnyalah setiap orang dapat mengaplikasikan formula tersebut dengan sempurna.
Ilustrasi gambar:
http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRjmpGXLgk-lMAzoR-H9jwsbhbqI7TKyJOrJF8W5nbgX5qcbD0Gai1sAHf65A
1 komentar:
Kata Perkelahian selalu menimbulkan konotasi yang saling bertarung berlawanan dan berdarah-darah,
secara falsafah penerapan konflik perkelahian terhadap Tarbiyah akan menimbulkan sebuah rasa yg "kurang mengenakan"
sebab seolah2 "Tarbiyah" diartikan sebagai pertikaian pemikiran, jiwa bahkan fisika yg para pelakunya ada dalam kerangkeng kalah atau menang
terluka dan berdarah.,darah.,.
untuk judul sebuah tulisan ini baik dan memprovokasi pembaca untuk menikmati goresan tulisan penulis.,.
keep writing
Posting Komentar