http://asal.comoj.com/images/lampu.jpg |
“Badan Pusat Statistik mencatat proporsi anak sekolah pada suatu kelompok tertentu yang sekolah sesuai dengan jenjang usia perguruan tinggi hanya sekitar 11,01% pada tahun 2010. (Badan Pusat Statistik)”
Data diatas sudah sangat cukup untuk menjadi bahan refleksi bagi para mahasiswa. Jika tahun lalu jumlah penduduk Indonesia hanya 11,01% yang mendapatkan kesempatan untuk duduk di perguruan tinggi, maka ada sekitar 88,99% lagi yang statusnya masih dipertanyakan.
Seiring dengan munculnya data tersebut, pertanyaan baru pun muncul, kontribusi apa yang telah diberikan oleh 11,01% itu untuk bangsa ini? Hanya sekedar pekikan “Hidup Mahasiswa” pada masa orientasi ‘kah? Atau, berdesakan dalam waiting list untuk mengisi absensi jumlah pengangguran?
Cukup naif jika jumlah yang tak banyak itu turut mengotori permasalahan bangsa. Apalagi jika menilik data lain bahwa lulusan perguruan tinggi lebih banyak yang menganggur daripada yang bekerja, menyaksikan para mantan mahasiswa yang menjadi koruptor nomor wahid, atau merasakan bagaimana permasalahan di negeri ini yang tak kunjung usai dari waktu ke waktu. Lalu sosok mahasiswa seperti apakah yang dirindukan agar membawa perubahan bagi bangsa? Yang termasuk kategori bagaimanakah yang disebut sebagai mahasiswa sukses?
Pertanyaan yang tak sederhana ini mencoba disampaikan kepada salah satu mahasiswa yang memiliki predikat yang menjanjikan di kampusnya.
Rudi, begitulah mahasiswa ini biasa dipanggil. Ia merupakan salah satu mahasiswa universitas terkemuka di Yogyakarta yang sudah tersoroh dimata para dosen. Meskipun demikian, ada satu hal yang sangat menggelitik dari mahasiswa yang hampir setiap hari memakai baju hem ini. Ia adalah sosok yang tak angkuh, mudah bergaul, dan menjadi “penguasa” hampir di setiap organisasi.
Apalagi jika mencoba untuk menggandrungi kosnya, berbagai macam piala serta piagam penghargaan nampak berlaga di pojok kamarnya yang berukuran 3 X 4 itu.
Air mukanya yang teduh membuat hati setiap orang yang memandang terpesona. Kesan berwibawa melekat pada panampilannya yang sederhana, bicaranya yang runut dan fasih, serta perilakunya yang ramah.
Saat ditemui, dengan tersipu malu ia menjawab,
“Ah, saya gak pantas ditanyain tentang sosok mahasiswa yang berguna bagi bangsa. Apalagi dimintai pendapat mengenai sosok mahasiswa seperti apa yang ideal. Toh, saya mahasiswa yang biasa-biasa saja,” senyuman pun tersungging dari bibirnya yang melintang.
Dengan tetap tidak menunjukan bahwa ia termasuk mahasiswa yang sukses, Rudi berniat berbagi dengan rekan mahasiswa yang lain,
“Mungkin saya hanya mau sharing saja. Dan ini pun hanya sedikit pengalaman yang pernah saya lakukan. Setiap orang ‘kan punya parameter kesuksesan masing-masing ketika kuliah. Tapi kalau saya berprinsip, ada enam hal yang menjadi parameter kesuksesan sebagai mahasiswa”
Ia berhenti sejenak untuk kemudian melanjutkan pembicaraannya dengan nada yang mulai agak serius. Akan tetapi, aroma persahabatan masih tetap bisa dirasakan.
“Untuk diri saya sendiri saya menerapkan enam hal. Yang pertama, lulus tepat waktu. Kalau bisa sih maksimal empat atau empat setengah tahun untuk mahasiswa yang kuliah di jurusan sosial seperti manajamen, akuntansi, atau ilmu ekonomi. Sebabnya sangat sederhana, kalau kuliah terlalu lama tidak tega melihat orang tua yang dengan susah payah terus membiayai. Siapa sih orang tua yang tak bahagia melihat anaknya mendapat gelar sarjana?”
Ia tercatat sebagai mahasiswa berprestasi tahun 2009. Masa studinya pun termasuk sebagai aktivis tercepat yang mampu menyelesaikan kuliah tepat waktu.
“Kemudian yang kedua, Indeks Prestasi Kumulatif diusahakan diatas 3,25. Walaupun beberapa teman punya keyakinan bahwa yang penting diatas tiga, tapi yang jelas tak sedikit perusahaan multinasional yang mensyaratkan indeks prestasi kumulatif minimal 3,25. Dan kalau bisa, jadi mahasiswa itu jangan kuper. Artinya, harus memiliki banyak teman dan dikenal di lingkungannya.”
Sesekali ia menatap layar laptop yang ada di hadapannya. Menurutnya, ia kini tengah mengerjakan proposal untuk mengikuti PKM (Program Kreativitas Mahasiswa).
“Kalau menurut saya, jadi mahasiswa itu harus komunikatif dan kreatif. Menjadi mahasiswa sangat jauh berbeda dengan menjadi siswa SMA. Mahasiswa itu bukan robot. Maksudnya, jadi mahasiswa itu kalau bisa harus banyak kegiatan agar bisa menambah wawasan.”
Bahasanya yang renyah serta kata-katanya yang runut bak untaian mutiara, membuat siapa pun tak akan bosan berbincang dengannya. Kacamata beningnya pun menjadi kesan tersendiri akan pribadinya yang mengagumkan. Tapi, ada satu hal yang menjadi pertanyaan bagi Rudi. Yaitu terkait dengan aktivitas organisasi.
Tak sedikit dari kalangan mahasiswa baru yang tak berkeinginan aktif di organisasi lantaran takut menjadi mahasiswa abadi. Dan banyak pula yang berasumsi bahwa masuk organisasi itu hanya buang-buang tenaga dan waktu.
Dalam hal ini, Rudi dengan tenang menjawab,
“Ah…itu hanya mitos saja!,”
Lagi-lagi, senyuman hangat merekah dari bibirnya yang merah sambil meneguk secangkir teh hangat yang terhidang di hadapannya.
“Jadi begini, menurut saya ada tiga hal yang menjadi tujuan utama kuliah. Dari mulai meng-upgrade ilmu sesuai dengan bidang keahlian kita, meng-create pola pikir, serta menciptakan semacam sosial responsibility”
Meski sebelumnya ia hanya mengungkapkan hal-hal yang sangat sederhana, namun agaknya intelektualitasnya mulai kentara dari tiga tujuan utama kuliahnya yang kini ia ungkapkan.
“Meng-upgrade ilmu sesuai dengan bidang keahlian kita maksudnya yaitu, seoptimal mungkin jajal terus ilmu yang terdapat dalam jurusan kita. Misalkan kita kuliah di jurusan akuntansi maka kita harus mengusahakan untuk menguasai ilmu akuntansi secara mendalam. Sangat miris rasanya jika kita melihat mahasiswa yang masuk kuliah hanya sekedar mengisi presensi. Jika kita kuliah di jurusan A, maka itu artinya bidang ilmu minimal yang harus kita kuasai yaitu ilmu yang terdapat di jurusan A. Pokoknya harus ditargetkan, semester pertama mendapatkan indeks prestasi diatas 3,7. Sebab, biasanya semester pertama itu menjadi kunci untuk semester berikutnya. Dan yang perlu diingat, ilmu yang kita dapatkan dari dosen di kelas hanya 30% saja. Sedangkan sisanya kita sendiri yang proaktif. ”
Sejenak ia menatap mahasiswa yang tengah asyik berdiskusi di depannya yang hanya terhalang oleh beberapa meja.
“Meng-create pola pikir berarti menciptakan alur berpikir kita sebagai seorang mahasiswa, bukan sebagai siswa. Mahasiswa itu, setidaknya menurut saya, selain berperan sebagai agen perubah juga dituntut harus menjadi orang yang memiliki wawasan wiyata mandala. Dalam hal ini, seorang mahasiswa dituntut untuk mampu membentuk semacam target yang hendak dicapai. Menurut trainer nasional Ustadz Satria Hadi Lubis, setiap kita dituntut untuk membentuk Life mapping. Kalau boleh saya menyimpulkan sih, buatlah target akan menjadi apa diri kita sepuluh tahun ke depan. Lalu, jabarkan targetan itu menjadi targetan-targetan kecil. Dan yang lebih penting urutkan secara rinci apa yang ingin dicapai ketika kita sedang kuliah untuk menggapai target kita sepuluh tahun ke depan itu. Pun, jangan monoton dari tahun ke tahun. Usahakan tingkat ‘kesulitan’ target kita ketika kuliah di tahun pertama hingga tahun keempat semakin bertambah. Coda deh baca buku-bukunya beliau biar lebih lengkapnya, atau baca buku-bukunya Solihin Abu izzudin agar dijadikan referensi untuk meledakan semangat. Di Toko buku juga banyak Lho….”
Tawa segar pun mengiringi sarannya untuk membaca buku Satria Hadi Lubis dan Solihin Abu izuddin. Tak diduga, ternyata mahasiswa yang kerap dipanggil “si aktivis kampus” oleh teman-temannya ini juga hobi bercanda.
“Dan jangan lupa tujuan utama seorang mahasiswa saat kuliah yang terakhir yaitu harus memiliki semacam social responsibility. Simpelnya, ikut aja deh beberapa organisasi. Saya yakin tak mungkin para pemimpin yang sekarang duduk menjadi Top manejemen perusahaan itu tak pernah mengikuti organisasi. Soalnya, bukankah suatu saat kita berakhir di sebuah organisasi? Mungkin ada yang berupa organisasi perusahaan, perbankan, atau unit bisnis yang kita miliki sendiri. Kalau saya pernah baca di internet, menurut survey, kualifikasi aktif di organisasi menjadi ranking teratas yang disarankan dari dunia kerja. Setelah itu baru mengasah kemampuan bahasa inggris, tekun belajar, mengikuti perkembangan informasi, memiliki pergaulan luas, dan mempelajari aplikasi komputer”
Mahasiswa dengan baju berkerah lengan pendek yang dipadukan dengan celana jeans ini berpendapat bahwa masuk lembaga dakwah termasuk salah satunya,
“Saya dari mulai masuk kampus hingga sekarang masih aktif di lembaga dakwah, walaupun dengan peran yang berbeda-beda. Menurut saya, masuk deh lembaga dakwah yang ada di kampus. Belajar sekaligus beramal. Pasti gak akan rugi. Yakin saja dengan janji Allah, intansurullah yansurkum wayutsabbit akdaamakum, yang menolong agama Allah pasti akan ditolong oleh-Nya. Kalau menurut dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Budaya, Pak Sus Budiyanto, dari sudut pandang psikologi, misalkan ada mahasiswa yang nilainya turun gara-gara aktif di organisasi keislaman artinya ada yang salah dengan keaktifannya itu. Mungkin keikhlasan masuk organisasi itu untuk berdakwah diragukan. Beliau juga mengatakan bahwa orang yang ikhlas pasti cerdas. Apalagi janji Allah dalam Al Qur’an sudah sangat jelas.”
Lembayung merah mulai menggelayut di ufuk barat. Rudi pun hendak bergegas untuk melanjutkan agenda berikutnya, yaitu buka bersama di masjid kampus. Namun sebelum beranjak ia mengatakan,
“Jika dirangkum, menurut saya untuk menciptakan mahasiswa yang tak hanya cerdas dari segi intelektualitas namun juga yang berhati nurani, maka organisasi keislaman adalah tempatnya. Disana akan ditemukan kawan yang mengingatkan disaat kita salah, yang menyokong disaat kita jatuh, yang menemani disaat kita sendiri, serta yang mendorong untuk menjadi mahasiswa yang berguna bagi bangsa dan agama.”