Selasa, 01 Februari 2011

Renungan ‘Tuk Sebuah Pengharapan


Seri Tulisan “Lipatan Labirin Uman”

Sahabat,
Marilah sejenak kita berhenti,
Rutinitas roda kehidupan yang kita jalani terkadang membutakan mata hati kita,
Marilah sejenak kita merenung,
Rilekskan pikiran kita,
Dan ketuklah pintu hati kita yang terdalam,
Marilah sejenak kita mengenang,
Tentang orang yang paling berjasa bagi diri kita,
Ibu bapak kita,

Sahabat,
Kian hari ajal kian mendekat,
Garis hidup mati seseorang sudah ditetapkan,
Malaikat maut sewaktu-waktu bisa menjemput,

Sahabat,
Entah berapa lama lagi kita akan bersama dengan ibu bapak kita,
Entah berapa lama lagi kita akan melihat senyuman tulusnya,
Kita tak kan pernah tau,
Mungkin tak lama lagi senyum itu akan hilang,
SMS nya yang kerap ia kirimkan mungkin sebentar lagi tak ada,
Kita tak akan pernah tau,
Mungkin satu atau dua hari lagi ajal kan menjemputnya,

Atau mungkin,
Setelah membaca tulisan ini,
Seseorang akan mengabarkan,
Tentang kepergiannya,

Sahabat,
Kita kenang saat ibu bapak kita pergi meninggalkan kita,
Untuk selamanya,
Mungkin demi menjaga perasaan kita,
Kita hanya akan dikabarkan bahwa ia sakit parah,
Atau mungkin tiba-tiba saja seseorang datang menjemput kita,
Dan mengabarkan jika ibu bapak kita sudah sembuh dari sakitnya,

Sahabat,
Saat ibu bapak kita berbaring,
Diatas selembar tikar,
Ia diselimuti dengan kain yang menutupi sekujur  tubuhnya,
Tetangga ramai berdatangan,
Sebagian terisak tangis,
Termasuk diri kita,

Kita kenang,
Saat itu,
Kita duduk disampingnya,
Dengan suara yang tersedu kita membaca surah yasin,
Mungkin sesekali kita akan berhenti,
Mengusap air mata yang menetes diatas pipi kita,

Kenaglah ketika ibu bapak kita dibungkus kain kafan,
Ketika ditutup wajahnya,
Mungkin itulah saat terakhir kita menatapnya,

Kini tak akan lagi melihat matanya,
Yang dulu mungkin tanpa kita tau,
Ia sering meneteskan air mata,
Karena kita sudah terlalu sering menyakitinya,

Sahabat,
Tak lama jenazah ibu bapak kita diusung ke kuburan,
Itulah saat terakhir kalinya ia berada di rumah kita,
Kita pun mungkin ikut mengantarnya,

Pelan dimasukan ke liang lahat,
Diriringi isak tangis para kerabat,

Saat itu kita menyaksikan tubuhnya yang kurus,
Karena setiap hari ia membanting tulang,
Bersimbah darah bermandikan keringat,
Rela mengurangi waktu tidur,
Uang jatah makannya sebagian ia tabungkan,
Demi membiayai sekolah kita,
Agar kita punya sepatu yang layak,
Agar kita bisa membeli buku,
Agar kita bisa sekolah sampai ke perguruan tinggi,
Mungkin ia menyadari jika pendidikannya kurang,
Sehingga ia rela mengorbankan apa saja,
Bahkan terkadang ia berhutang sana-sini,
Untuk mencukupi keperluan kita,

Sahabat,
Bayangkanlah,
Tanah yang berwarna kecoklatan mulai disisipkan disamping tempat berbaringnya,
Kayu dan bambu sudah disiapkan untuk menutupnya,
Mungkin itulah saat terakhir kita melihat jasadnya,
Tak kan ada lagi tangannya yang bisa kita cium,
Tak kan ada lagi yang membawakan oleh-oleh,
Tak kan ada lagi suara lembutnya yang selalu membangunkan kita setiap pagi,

Ketika kita pulang ke rumah,
Kita hanya melihat baju daster ibu yang tergantung,
Baju koko punya bapak tak kan ada lagi yang memakai,
Tak kan ada lagi canda,
Tak kan ada lagi kemarahannya,
Tak kan ada lagi yang menyuruh kita shalat berjama’ah,

Sahabat,
Hati-hatilah,
Mudah-mudahan ibu bapak kita punya bekal pulang ke akhirat,
Kita bayangkan andai kata ia tak punya bekal,
Melolong-lolong di alam barzakh, na’udzubillah…
Meminta pertolongan,
Menanti do’a anaknya,
Padahal Allah menjanjikan,
Do’a anak yang sholeh bisa melapangkan alam kuburnya,

Namun bagaimana jika sebaliknya, sahabatku?
Alangkah malangnya jika ibu bapak kita punya anak yang durhaka,
Menjerit kesakitan,
Dosa yang kita perbuat, ibu bapak kita ikut memikulnya,
Malaikat munkar dan nakir yang merah menyala-nyala,
Menghantamnya tiada henti,
Siksaan demi siksaan ia terima,
Kepedihan yang tak terperikan ia rasakan,
Mau siapa yang ia harapkan, sahabatku?
Akankah air susu dibalas dengan air tuba?

Wahai sahabatku,
Kita tak tau kapan akan berpisah dengan ibu bapak kita,
Jika ia telah tiada,
Hanya batu nisannya yang bisa kita tatap,
Hanya pusaranya yang bisa kita kunjungi,

Sahabat,
Berbaktilah kepadanya selagi mereka masih ada,
Suatu saat,
Saat ibu bapak kita telah tiada,
Hanya nasihatnya yang akan terkenang ditelinga kita,

Sahabatku percayalah,
Ketika ibu bapak kita telah tiada,
Hanya penyesalan yang kita rasakan,
Tak ada lagi kesempatan untuk berbakti,
Kita akan menyesal karena seringkali menyepelekan perintahnya,
Bahkan mungkin terkadang,
Hati kita cemburu tatkala puluhan teman kita bisa berjalan-jalan dengan ibu bapaknya,
Hanya bisa membayangkan betapa indahnya jika kursi orang tua kita terisi saat ada rapat di sekolah,
Akan getir tatkala melihat kolom tanda tangan orang tua kita tak ada yang mengisi,
Kita akan berusaha kesana kemari mencari orang yang mau menggantikan tanda tangannya,
Mungkin beberapa orang akan merendahkan kita,
Bahkan tak jarang yang menyepelekan dan mencemooh,
Saat itu mungkin kita hanya berusaha tegar dan menahan air mata,

Dengarkanlah wahai sahabat,
Tak ada waktu lagi untuk menyia-nyiakan kehadiran ibu bapak kita,
Bersegeralah untuk mencium tangannya,
Mintalah do’anya selagi mereka masih hidup,
Berusahalah untuk selalu membahagiakannya,

Sahabatku,
Andaikata ibu bapak ditakdirkan pergi mendahului kita,
Janganlah berkecil hati,
Janganlah merasa kita tak kan punya masa depan,
Allah sengaja memanggil mereka dengan cepat,
Agar kita menjadi anak yang mandiri,
Agar kita menjadi anak yang kuat menghadapi tantangan kehidupan,
Agar kita menjadi anak yang soleh, anak yang selalu mendo’akannya,
Agar kita menjadi anak yang tau balas budi,
Agar kita menjadi anak yang memiliki keteguhan iman, tawakkal illallah!
Agar kita tau diri betapa berharganya nasihat yang sering ia ucapkan,
Agar suatu saat saat kita sadar akan ke-Maha Besaran Allah,
Agar suatu saat kita sadar akan ke-Maha Menjaminan Allah kepada hamba-Nya,
Yakinlah,
Beberapa tahun setelah ibu bapak meninggalkan kita,
Kita akan merasakan hikmah yang tak dirasakan anak-anak yang lain,
Hikmah nikmatnya berguru kepada kehidupan,
Karena kita disiapkan untuk menjadi pribadi-pribadi tangguh yang mandiri

Ya Allah…
Engkaulah yang Maha Tahu sisa umurnya
Berikanlah kami kesanggupan untuk membahagiakannya
Berikanlah kami kekuatan untuk berbakti kepadanya

Andai ajal menjemputnya, ya Allah…
Wafatkan orang tua kami dalam keadaan husnul khatimah
Ketika hatinya sudah memaafkan dan ridho kepada kami
Ya Allah…
Kami mohon titip di kuburnya
Terangkanlah alam kuburnya
Jangan biarkan tersiksa sedikit pun jua, ya Allah…

Ya Allah, golongkan kami menjadi anak yang sholeh dan sholehah
Yang dapat menjadi penolong di alam kuburnya
Jadikanlah do’a kami menjadi do’a yang dapat melapangkan kuburnya
Jangan pernah biarkan Engkau siksa orang tua kami karena dosa-dosa kami, ya Allah…
Amin, ya…rabbal’alamin…
“Ayah…Ibu…
Kini kuhanya bersimpuh diatas pusaramu
Maafkan anakmu tak sempat bahagiakanmu…
Ayah…Ibu…
Tak apa kita tak lama bersua
Walau anakmu ini tak ada kesempatan ‘tuk berbakti padamu
Namun…
Izinkanlah aku berusaha ‘tuk menjalankan nasihat tulus yang pernah kau ucapkan
Nasihat yang senantiasa terpatri di sanubari
Yang ternyata kini baru kusadar
Ternyata nasihat-nasihatmu itu,
Dapat menerangimu dan menolong kita agar dapat berkumpul kembali dengan bahagia
Di Surga-Nya…”

“Goresan Tangan Uman”, Senin, 31 Januari 2011
Semoga dapat menjadi inspirasi dan semoga setiap amal yang kulakukan dapat menjadi pahala untuk almarhum kedua orangtua, karena bagiku merekalah sumber inspirasi terbesar dalam hidupku

1 komentar:

FORSALIM mengatakan...

tulisannya baru 3 ya?

Posting Komentar