“Mas sudah lama tak mampir ke kampus?”, tanya seorang perempuan berjilbab merah yang duduk disampingku.
“mungkin sejak wisuda dulu diawal tahun 2012 aku belum pernah mampir lagi ke kampus”, jawabku sambil serius menyetir mobil.
“berarti sudah cukup lama ya mas?”
“Ya…kurang lebih sekitar delapan tahunan”
“wah lumayan lama juga tuh mas”
“Iya…” jawabku singkat.
Perjalanan siang itu sangat melelahkan. Teriknya sinar matahari serta bisingnya suara mesin mobil yang menderu-deru cukup membuatku menguras banyak keringat. Seharian aku dan istriku berputar-putar mengelilingi kota Jogja. Dari mulai berkunjung ke rumah beberapa saudara hingga bermain ke teman-teman lama.
Kini kami baru saja pulang dari daerah Pakem untuk mengunjungi salah satu keluarga. Karena sebentar lagi memasuki waktu ashar, maka kami berencana menunaikan ibadah shalat ashar berjama’ah di Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia tercinta.
Kubah masjid menyambut ramah saat kubelokan mobilku ke boulevard UII. Seperti delapan tahun yang lalu, kubah itu masih tampak gagah dengan catnya yang mengkilat berwarna kuning emas.
Kuparkir HONDA JAZZ silver ku di parkiran masjid Ulil Albab. Tepat dibawah papan yang berukuran 1 x 1,5 m. Papan itu bertuliskan nama “KODISIA”. Berwarna biru dan putih. Biru untuk tulisan KODISIA dan putih untuk warna dasarnya.
Kami segera bergegas keluar dari mobil dan menuju masjid yang terletak di lantai dua.
Sesampainya didalam masjid, aku melihat pemandangan yang tak jauh berbeda dari delapan tahun yang lalu. Tampak beberapa mahasiswa dengan sigap menyiapkan shalat dzuhur. Dari mulai menggelarkan sajadah imam hingga mengecek mirofone yang biasa digunakan. Mereka menggunakan jas berwarna hitam lengkap dengan peci yang juga berwarna hitam. Paduan sarung kotak-kotak dengan jas yang dipakainya membuat mereka nampak sangat berwibawa. Mereka lebih dikenal dengan sebutan Takmir Masjid Ulil Albab. Sekelompok pemuda shaleh yang menggadaikan dirinya untuk berbakti memakmurkan rumah Allah.
Seusai melaksanakan ibadah shalat dzuhur salah seorang takmir masjid tampak naik keatas mimbar. Setelah diperhatikan ternyata ia menyampaikan tausyiah. Sore itu ia menyampaikan tentang tema “indahnya persatuan Islam”. Kalimat yang mengalir dari bibirnya yang anggun cukup membuat jama’ah shalat masjid tertegun. Ia menyampaikan dengan begitu perlente. Dari mulai cara ia mengucapkan salam, menyapa jama’ah, mengatur tinggi nada suara, melakukan penekanan, hingga cara ia tersenyum sungguh sangat menggugah setiap yang mendengarkannya. Dan terlihat bukanlah hanya sekedar basa-basi. Semuanya benar-benar keluar dari hati. Ini merupakan pemandangan yang agak berbeda jika dibandingkan dengan delapan tahun lalu. Jika dulu yang menyampaikan tausyiah selalu ustadz maka sebenarnya sekarang pun sama-sama ustadz. Namun bedanya, sekarang ustadz tersebut berasal dari mahasiswa.
Aku merasa ingin duduk berlama-lama di dalam masjid nan damai itu. Meskipun udara diluar cukup panas namun suasana masjid Ulil Albab terasa sangat sejuk. Tak hanya dirasakan oleh rongga-rongga kulit, kesejukan itu pun dirasakan oleh setiap hati jama’ah. Sebab, setiap jama’ah yang datang disambut ramah oleh jama’ah yang lain. Minimal para mahasiswa yang memakai seragam hitam itu selalu menyapa setiap jama’ah dengan sangat ramah. Senyuman yang begitu tulus.
Meskipun sebenarnya aku sangat betah menikmati suasana masjid, namun aku dan istriku harus segera bergegas pulang. Anak kami pasti telah lama menunggu di rumah.
Ketika kami hendak menuruni tangga tiba-tiba seseorang menepuk pundaku dari belakang,
“Assalamu’alaikum mas…”
“Wa’alaikum salam”, jawabku.
“gimana kabarnya mas?Lama tak keliatan…”
“Oh..alhamdulillah baik” jawabku lagi. Ragu.
Orang yang menyapaku itu memakai sarung berwarna cokelat, kemeja putih bergaris, serta peci hitam. Kulitnya berwarna agak sedikit gelap. Ia memiliki tinggi sekitar 170 cm. Walaupun tertutup peci namun terlihat rambutnya agak kriting.
“bentar, saya agak lupa-lupa ingat nih”, aku memulai pembicaraan sambil terus mengingat-ingat siapa yang ada di depanku ini.
“saya Ali, mas…”, ia memperkenalkan diri.
“Oh...Ali? wah…maaf Li…aku hampir saja lupa. Maasya allaah…gmana kabarnya?”
“Alhamdulillah baik mas…”
“o iya, perkenalkan, ini istri saya, namanya akhwat”
“saya Ali mbk, temennya mas Uman sewaktu dulu di UII”
“temennya mas Uman ya? Berarti ini Alihasan yang dari NTT itu? mas Uman dulu uda pernah cerita. Perkenalkan mas, saya akhwat” sapa istriku sambil tersenyum.
Ternyata ia adalah Alihasan Syamsudin. Dulu ia mahasiswa Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia. Orang yang sangat istiqomah menjadi mujahid masjid. Jiwa ketakmiran memang sudah mengalir dalam darahnya. Ia pernah menjabat sebagai koordinator Takmir Masjid Al Muqtashidin selama dua peroide. Disamping itu, ia pun diamanahi sebagai Takmir Masjid Uil Albab. Ia memang takmir sejati. Bahkan tak hanya sebagai Takmir masjid, ia pun sering diundang sebagai pembicara dalam berbagai macam seminar sewaktu bersamaku di UII. Ia sering menyampaikan training Manajemen Masjid. Berkat ketekunan dan kerajinannya ia mendapatkan IPK 4.00 hingga akhir masa studinya.
“Gimana mas kabarnya? Katanya selain aktif menulis buku mas Uman juga sekarang jadi Kepala Cabang Bank Syariah Mandiri untuk Tasikmalaya ya?” Ali melanjutkan pembicaraan.
“Hehe…Alhamdulillah…kok kamu tau Li?”
“Kemaren kan saya ikut bedah bukunya mas yang diadain Gramedia. Terus saya search aja di internet profil lengkapnya. Kemarin sih rencanaya saya mau temuin mas, tapi gak sempet”
“Oh…kalau kamu sekarang dimana Li?”
Sambil agak tersipu malu Ali menuturkan,
“kemarin saya baru pulang dari Australia. Alhamdulillah mendapatkan beasiswa di Wollongong University untuk melanjutkan S2. Terus rencananya bulan depan mau berangkat ke Beijing, China. Disana ada seminar tentang “Mosque Theraphy” atau terapi kesehatan berbasiskan masjid. Kebetulan mereka meminta saya untuk menjadi pembicaranya”
“subhaanallaah…hebat kamu Li. La terus sekarang habis ada acara apa disini?”
“Ini tadi abis ada Reuni TMUA mas. Alhamdulillah yang datang banyak. Banyak yang kami bahas tadi termasuk bagaimana kondisi kampus yang sekarang. Sekarang kondisi UII kabarnya berubah sangat drastis!”
“Maksudnya?”
“Alhamdulillah sekarang semakin maju mas. Sangat jauh kalau dibandingkan dulu waktu mas masih disini”
“Mmmm…Semakin maju gimana? Lokasi kampusnya dipindah ke alun-alun atau gimana? Hehe…”
“Ah…mas Uman ini bisa aja. Sekarang semua lembaga di UII diwajibkan memiliki program kerja yang bersifat dakwah baik yang bersifat social ataupun yang bersifat ritual. Sehingga kegiatan kampus benar-benar sangat memiliki nilai”
“yang benar Li? contohnya gimana itu? Bukannya biasanya jangankan untuk lembaga mahasiswa islam, diantara petinggi kampus pun agak susah bersatunya ya?”
“Alhamdulillah sekarang bersatu mas. Contohnya saja kemarin digelar ‘Pentas Seni’. Katanya sangat banyak yang datang. Walaupun diadakan di Jogja Expo Center tapi pesertanya sangat membludak. Sampai-sampai panitia kebingungan mencari tempat duduk tambahan”
Saat kami tengah asyik ngobrol dengan teman lamaku ini tiba-tiba istriku memotong,
“mas, gimana kalau saya ke bawah duluan? soalnya biar mas Uman ngobrol-ngobrol saja dulu dengan mas Ali”
“enggak apa-apa ni?” tanyaku memastikan.
“Iya, gak apa-apa biar saya nunggu di mobil saja soalnya sekalian mau beli oleh-oleh buat Firza”
“kalo gitu ini ambil aja kunci mobilnya…”
Istriku sedikit menghampiriku sambil mendekatkan tangan kanannya untuk mengambil kunci mobil yang aku sodorkan. Setelah berpamitan ia menuruni tangga untuk menuju mobil yang terparkir di depan masjid.
Lalu Ali memulai pembicaraannya lagi.
“Mas, biar lebih enak gimana kalau kita ngobrol-ngobrolnya di dalam saja? kebetulan didalam juga ada ketua KODISIA yang sekarang”
“Oh...gitu ya? Yaudah kalo gitu, sekalian silaturrahim dengan temen-temen yang lain”
Kami berdua segera berjalan menuju ruangan Takmir. Mungkin lebih tepatnya disebut ruang tamu Takmir Masjid Ulil Albab. Ruangan itu terletak disamping ruangan imam. Berukuran sekitar 10x15 meter. Ubinnya beralaskan keramik putih yang dilapisi permadani tebal. Permadani itu berwarna biru. Diatas pintu masuk ada huruf kaligrafi berwarna emas yang bertuliskan “Ahlan wasahlan ya…akhi”. Didalam ruangan itu ada satu set sound system, satu buah laptop Apple, beberapa microphone, serta beberapa headphone. Belakangan aku tau ternyata ruangan ini selain berfungsi sebagai ruang tamu juga berfungsi sebagai ruang studio on air sebuah stasiun radio. Ternyata katanya studio itu adalah studio 2 UNISI RADIO. Studio ini khusus untuk merilai kegiatan keislaman ataupun juga siaran langsung dari masjid Ulil albab.
Selain seperangkat peralatan siaran radio, ruangan itu juga tampak didesign sebagai sebuah ruang tamu perkantoran mewah. Interior ruangannya yang sangat artistik membuatku tak percaya jika ini adalah ruang tamu sebuah masjid. Disana tampak satu set sofa berwarna krem. Ditengah sofa berdiri tegak sebuah meja kaca. Meja itu berbentuk persegi serta memiliki empat buah kaki yang berwarna hitam. Diatasnya berdiri cantik sebuah vas bunga. Aku pun dipersilahkan duduk diatas sofa yang sangat mewah itu bersama lima orang mahasiswa yang tengah asyik berbincang-bincang satu sama lain itu. Mereka tampak sangat akrab. Air mukanya memancarkan jiwa-jiwa kehangatan dan perdamaian.
“Assalamu’alaikum temen-temen. Kenalin ini mas Uman, dulu sempat diamanahi menjadi ketua KODISIA periode 2011/2012”
“wa’alaikum salam warohmatullahi wabarakatuh mas. Mari mas, masuk. Anggap saja rumah sendiri. Kita ngobrol-ngobrol dulu disini”
Mereka serempak berdiri lalu menyambutku. Sambil bersalaman. Sekilas mereka tampak sangat ramah. Setelah bekenalan dan dipersilahkan duduk aku pun mulai akrab dengan mereka.
Mahasiswa yang memakai jaket putih kotak-kotak berkerah yang dipadukan dengan celana panjang hitam itu bernama Heru. Dia adalah ketua KODISIA yang sekarang. Adapun yang memakai baju kaos berkerah berwarna biru campur hitam itu adalah Deri. Ia ternyata dari HMI UII. Sedangkan yang memakai hem kuning bernama Ahmad. Dia adalah perwakilan dari HTI. Yang terakhir ada Andi, ketua KAMMI, dan Hendi, ketua IMM.
“gimana sekarang kondisi kampus? Kabarnya sekarang banyak kemajuan?” aku mencoba menyambungkan pembicaraan dengan Ali yang sempat terpotong.
“iya mas, Alhamdulillah. Sekarang semua lembaga harmonis. Malah ini kami kumpul disini sedang merapatkan tentang program yang ingin dijalankan”, jawab Andi.
“Alhamdululillah kalau gitu. Kalau boleh tau temen-temen mau membuat program apa nih?” tanyaku penasaran.
“Ini mas, rencananya kami dari KODISIA menggagas program Gerakan UII Tersenyum atau disingkat ‘GERUS’ dan UII Bebas Maksiat atau disingkat ‘UBI’. Teknisnya nanti setiap dosen dan seluruh mahasiswa diwajibkan tersenyum sekitar lima menit sebelum memulai kelas. Tentunya setelah dosen menyampaikan kandungan islam yang ada pada mata kuliah tersebut”
“wah namanya cukup konyol juga. GERUS dan UBI. Hehe… kalau program ‘UBI’ itu gimana?” tanyaku sambil terkagum-kagum akan krativitasnya.
“kalau UBI itu kita mengadakan razia ke setiap kos yang ada di dekitar UII yang diduga kosan kurang sehat. Dalam hal ini kami bekerja sama dengan seluruh elemen kampus baik itu DPM, LEM, LDF, organisasi islam eksternal dan yang lainnya. Dan Alhamdulillah mendapat pengawalan dari pihak kepolisian dan pemuda setempat. Kami pun bekerja sama dengan DPPAI untuk memberikan penghargaan kepada kosan yang paling islami. Penghargaannya bisa berupa tunjangan bulanan atau vocher gratis makan di warung makan dekat kampus yang uda jadi relasi kami selama sebulan. Ini kami ngumpul disini lagi ngobrolin itu mas” sahut andi dengan penjelasannya yang begitu rinci dan nada bicaranya yang tertata dengan rapi.
“Maasya Allaah….sampai segitunya?” aku hanya bisa mengangguk kagum sambil merenungi ternyata telah banyak yang berubah dari kampus tercintaku ini.
“terus gimana program yang HAWASI itu? Sekarang masih jalan?” tanyaku lagi.
Sambil meneguk air putih yang ada di depannya Heru menjawab dengan semangat,
“Alhamdulillah mas, sudah bisa dikatakan hampir sukses. Sekarang untuk menjadi dekan minimal hafal sepuluh juz. Apalagi untuk menjadi rector minimal lima belas juz. Selain itu, juga diwajibkan memiliki gelar professor serta telah memiliki karya nyata untuk masyarakat. Jangankan itu mas, syarat untuk menjadi ketua LDF saja minimal tiga juz al Qur’an dan seratus hadits”
Mendengar penjelasannya aku hampir tak percaya.
“terus hasilnya untuk prestasi UII sendiri sekarang gimana?”
Heru pun tak mau kalah. Ia yang sedari tadi tak berkomentar apa pun karena tengah asik menikmati makanan ringan yang ada dihadapannya ternyata menjawab pertanyaanku dengan begitu semangat dan antusias.
“sekarang UII jadi Universitas Islam percontohan di Indonesia mas, bahkan di ASEAN. Jika dulu mungkin zamannya mas Uman UII itu dijadikan alternative setelah tidak diterima di Universitas Gajah Bergengsi maka sekarang sebaliknya. Sekarang yang mengikuti SNMPTN itu adalah mereka yang sudah tidak diterima di UII”
“wah rasanya saya semakin tak percaya. Karena dulu jujur saja saya masuk UII itu karena sudah ditolak oleh Teknik Sipil Universitas Gajah Bergengsi” jawabku sambil tersenyum kecil.
“betul, mas. Aku juga gitu” Ali ternyata turut mengamini komentarku.
“O iya, tadi katanya ada pentas seni di JEC? Itu gimana ceritanya?” tanyaku dengan penuh penasaran sambil mengambil gorengan yang ada di depanku. Sebenarnya belum dipersilahkan. Tapi entah kenapa tanganku begitu refleks menyamber makanan kesukaanku itu yang sedari tadi menggoda lidahku.
“iya, mas. Satu minggu yang lalu kita mengadakan pentas seni sekaligus pameran Pedang Nabi Muhammad dan perangkat perang lain. Kami ingin menunjukan bahwa islam itu juga penuh dengan seni. Kami ingin menunjukan bahwa seni itu tak selalu glamor ataupun juga urakan. Acaranya diadakan oleh KODISIA dan seluruh LDF di UII. Dalam hal kepanitiaan kami pun merekrut teman-teman yang ada di Institut Seni Indonesia (ISI) serta beberapa negara Timur Tengah sebagai negera yang memiliki benda-benda pusaka nabi yang akan dipamerkan. Acaranya pun dibuka oleh Sri Sultan Hamengku Buwono. Bahkan didukung oleh Departemen Pendidikan dan Departemen Kebudayaan Kota Yogkayakarta. Malah Diknas mewajibkan semua sekolah di DIY dan Sleman dari mulai SD hingga SMA untuk mengunjungi pentas seni yang kami adakan. Dan Alhamdulillah mendapat apresiasi yang sangat tinggi dari masyarakat mereka serta masyarakat. Suasana malam hari di JEC pun tak kalah dengan suasana ketika mengadakan pameran komputer. Begitu hiruk pikuk oleh pengunjung. Dalam acara itu Selain menampilkan seni-seni islami juga kami menggelar drama kolosal dengan tema Padang Mahsyar. Sebagian besar pemainnya berasal dari pengurus LDF yang telah dilatih oleh teman-teman dari klub Teater. Dan hasilnya Alhamdulillah cukup optimal. Tak jarang pengunjung yang sampai mengucurkan air mata setelah menyaksikan drama itu. Bahkan ada seorang preman yang langsung Taubat dan minta bimbingan dari seorang ustadz. Juga, Hasil penjualan tiketnya seratus persen diserahkan kepada panti asuhan dan TPA yang ada di sekitar kampus UII”
Ditengah asyiknya kami mengobrol tentang situasi kampus yang serba beda tiba-tiba handphone ku berbunyi,
“kriiing….kriiiing….kriiiiing”
“sebentar ya” aku memohon izin untuk membuka SMS terlebih dulu.
Kubuka SMS itu. Ternyata istriku meminta untuk segera pulang soalnya Firza, anak kami, rewel di rumah.
“O iya, maaf sebelumnya, ini ternyata anak saya rewel di rumah. Kebetulan tadi dititipin sama pembantu. Jadi mungkin tidak bisa lama. Insya allah kalau ada kesempatan nanti saya mampir lagi kasini” kataku sambil berdiri untuk berpamitan.
“iya mas, makasih atas kunjungannya. Maaf gak bisa disediain apa-apa” kata salah seorang dari mereka.
“mas, nanti malam ada kajian Tafsir bersama Ustdz Suprianto Pasir ba’da maghrib”
“Oh…iya ya? Insya allah kalau gitu nanti ba’da maghrib saya mampir kesini soalnya saya di jogja masih sekitar dua hari lagi”
“tapi kalau bisa datangnya sebelum maghrib mas. Soalnya takut gak kebagian tempat. Biasanya masjid penuh sampai belakang” Ali menyarankan.
“iya insya allah”
Kemudian setelah berpamitan aku segera berjalan menuju mobil yang terparkir di depan masjid Ulil Albab untuk menemui istriku yang sedari tadi menunggu. Perasaanku sedikit tak percaya dengan kondisi kampusku yang berubah drastis. Sungguh serasa dalam mimpi.
4 komentar:
agak utopis, tapi ga apalah itung2 pelipur duka dikala senja...
heeee
Namanya juga mimpi, boleh dong muluk...hehe
bwetul juga,,
ngomong2 nama Kopral Bambang ni ga asing di telingaku,,
pernah liat di badai otak (sepertinya),, mungkin salah. entahlah.
How to Unite Muslim world?
Posting Komentar