Siang itu panas sekali. Sang mentari menatap tegas para pejabat kampus. Mereka berjubel di depan sebuah gedung yang baru. Empat lantai tingginya. Sangat mewah.
Batik cokelat yang dipadukan dengan celana hitam meliliti tubuhnya. Rapih. Rambutnya disisir ala tahun delapan puluhan.
Di gerbang kampus pak polisi tegak berdiri lengkap dengan bedil panjang. Sebuah kotak hitam digenggamnya. Terdengar gemerisik suara meyelinap dari lubang kotak hitam itu. Dan sesekali kata “ganti” keluar dari mulut pak polisi yang lancip.
“Pak menteri sudah berada di kilometer sepuluh. Lima menit lagi masuk lokasi. Pastikan keadaan aman!,” suara tegas dan kaku itu berasal dari kotak hitam yang di genggam salah satu polisi.
“Siap!,” sahutnya.
Melalui komando seorang pria berpakaian safari, para pejabat kampus itu dengan sigap mengubah posisi. Mereka kini berjajar anggun. Beberapa nampak merapihkan rambutnya.
Selang beberapa jenak iring-iringan mobil yang mengangkut pak menteri meraung seram. Suara gagahnya memecah keheningan kampus islam tertua di negeri ini.
“Pak menteri wis tekan,” kata salah seorang petugas cleaning service dengan muka takjub.
Kini pak menteri bersalaman dengan para pejabat kampus itu. Setelah acara dimulai ia memberikan sambutan. Sekaligus meresmikan gedung yang berdiri anggun dihadapannya.
“Gedung perpustakaan ini saya resmikan dengan bersama-sama membaca basmalah…”
“Bismillaahirrahmaanirrahiim”
Tepuk tangan pun kini bergemuruh.
Seusai acara, pak menteri berfoto dengan para pejabat kampus. Dan diikuti dengan melakukan berbagai macam tanda tangan. Termasuk tanda tangan diatas batu besar sebagai tanda resminya gedung ini.
Tepat disamping gedung yang diresmikan itu berdiri megah sebuah masjid. Kubahnya berwarna kuning. Dari gerbang di pinggir jalan masjid ini nampak tegap berdiri. Kini dari sana kini mengalir syahdu kumandang adzan. Pertanda masuk shalat dzuhur.
Akan tetapi disamping masjid, pak menteri sedang meresmikan gedung baru. Bahkan menurut rundown acara kini saatnya hiburan, bukan shalat dzuhur.
Seorang penabuh gendang ditemani dua orang penabuh lainnya mulai beraksi. Seorang ronggeng seksi dengan pakaian kebaya ketat pun menari di depan pak menteri. Lenggokannya mengalahkan si juru adzan.
Hingga kini, mungkin sampai beberapa menit ke depan, pak menteri, pak rektor, dan beberapa pejabat kampus islam tertua di negeri ini tergiur oleh ronggeng muda belia. Sementara si juru adzan tetap sabar berteriak dengan suaranya yang serak.
Dan ternyata menurut kabar burung, pak menteri dan para pejabat kampus itu menikmati alunan ronggeng sampai shalat dzuhur kloter pertama selesai. Maklum saja, pak menteri kan datang untuk meresmikan gedung baru dan menikmati lenggokan sang ronggeng, bukan untuk shalat dzuhur. Begitu pun para pejabat kampus islam lain.
1 komentar:
mantaaappp benar tulisan ini.,.,.
Garam itu tak terlihat dalam masakan namun rasanya sangat mempengaruhi masakan
Berbeda dengan Lipstik merah seorang muda belia kentara dan terlihat jelas namun sayang tak dapat dirasakan.,.
Kini Nama sekedar nama.,.
wallohualam.
Posting Komentar