Saat aku mulai Log In dan masuk ke menu “Home” di situs jejaring social itu, aku membaca beberapa status temanku. Tak sengaja aku menemukan banyak status temanku yang sudah menikah. Dari status yang dituliskannya nampak jelas dantara mereka ada yang menyatakan kegembiraanya karena telah memiliki sang pujaan hati dan sang tambatan jiwa, yakni seorang suami yang soleh. Tak hanya itu, ada juga yang bersyukur dan menyatakan bahagia karena baru saja ditraktir makan malam di sebuah restaurant yang dihiasi dengan beberapa titik-titik cahaya lilin putih dengan disuguhi oleh atmosfer ruangan yang cukup romantis. Hampir sebagian besar yang mengungkapkan kegembiraan lewat statusnya yang aku jumpai itu adalah pasangan yang belum lama menikah. Dari mulai yang baru dua bulan, dua minggu, bahkan dua hari.
Namun pemandangan yang berbeda aku jumpai dari beberapa tetanggaku yang telah menikah beberapa tahun yang lalu yang juga umurnya tak terpaut jauh denganku. Pada awal pernikahan mereka tampak cukup bahagia. Laksana sepasang merpati yang sedang memadu kasih, mereka tampak cukup mesra. Dunia serasa milik mereka berdua. Mungkin mereka merasa surga telah berada dalam genggamannya. Tapi kini mereka mulai tampak kebingungan. Suasana rumah tangga yang tadinya bagaikan surga, kini mulai merambat seolah menjadi neraka. Berbagai macam masalah mulai bermunculan disana-sini. Kebiasaan pasangan yang tidak disukai yang pada awalnya bisa diterima kini mulai dikeluhkan. Penghasilan yang tidak tetap pun menjadi bagian masalah tersendiri buat sang suami. Ia mulai kegingungan untuk mencari penghasilan tambahan untuk menghidupi anak istrinya. Akhirnya Interaksi dengan sang istri pun kurang begitu harmonis.
Begitu pun dengan sang istri, ia mulai berkeluh kesah dengan kondisi rumah tangga yang semakin lama semakin tidak harmonis. Kurangnya ilmu dan pemahaman terhadap agama menjadi kendala utama. Disaat awal menikah ia menjalani rumah tangga hanya mengandalkan perasaan cinta sesaat yang baru mekar di dalam hati. Ia tak memiliki pemahaman ilmu yang baik saat memulai pernikahannya. Akibatnya emosinya yang masih labil sangat mempengaruhi setiap tindakannya. Bahkan tak jarang ia memuntahkan api cemburunya dihadapan sang suami yang masih lelah setelah seharian membanting tulang demi menghidupi anak istri lantaran pulang terlalu larut malam.
Fenomena yang aku ceritakan memang terlihat cukup kontras. Banyak pasangan yang pada awal menikah merasa sangat bahagia, namun kebahagiaan itu pun sirna seiring dengan berjalannya waktu. Aku teringat dengan beberapa patah kata yang dilontarkan salah satu dosen FE UII yang melakukan pernikahan disaat masih duduk di bangku kuliah. Beliau adalah bapak Bekti Hendrianto. Ia menikah disaat masih menyelesaikan kuliah strata satunya di Kampus Gadjah Mada. Ia menuturkan, “Menikahlah tepat pada waktunya”. Kalimat yang dilontarkan beliau ini mungkin cukup sederhana. Akan tetapi dibalik kesederhanaannya ternyata tersimpan berjuta makna. Beliau menjelaskan bahwa banyaknya pasangan muda yang kurang bahagia disebabkan oleh ketidaktepatan waktu ketika melakukan pernikahan. Dengan kata lain, mereka menikah pada kondisi yang belum “mampu” baik secara fisik maupun secara psikis. Sehingga tak jarang banyak pasangan yang merasa “babak belur” dalam menghadapi permasalah yang muncul setelah melakukan pernikahan.
Kalimat yang dilontarkan dosen yang juga sebagai direktur P3ei ini memang benar. Argumennya semakin diperkuat dengan banyaknya tulisan di internet terkait risiko yang dapat ditimbulkan oleh pasangan yang menikah pada saat usianya masih muda. Ditengah asiknya aku melihat-lihat status beberapa temanku di facebook sambil sesekali mengetik di fasilitas chat, aku pun menyempatkan diri untuk browsing di Google dengan memasukan kata kunci ‘dampak negative menikah dini’. Beberapa detik kemudian banyak sekali bermunculan berbagai macam tulisan terkait dengan topik yang aku ketikkan. Salah satu diantaranya yakni pada sebuah milis sehat disebutkan bahwa pasangan yang menikah dini dapat mudah terserang penyakit khususnya bagi si ibu ketika dia sedang hamil. Anak usia 15-19 tahun lebih besar kemungkinan untuk mengalami komplikasi selama kehamilan dan persalinan termasuk Fistula obstetric, yakni sebuah kelainan pada daerah alat kelamin. Tak hanya itu, perempuan yang hamil di usia muda juga besar kemungkinan dapat memiliki anak dengan berat badan rendah, anemia dan kurang gizi. Sedangkan dampak hamil muda bagi si ibu yakni rentan terkena kanker serviks.
Data yang aku sebutkan diatas hanyalah salah satu dari sekian banyak tulisan terkait dengan menikah dini yang aku jumpai di internet. Namun jika kita hubungkan dengan beberapa status pasangan yang baru menikah di facebook, fakta yang terjadi di sekitar tempat tinggalku, kalimat yang dilontarkan Bapak Bekti hendrianto, dan data yang ditemui di internet maka bisa kita tarik benang merah bahwa setiap orang akan lebih baik menikah jika tidak hanya telah merasa siap akan tetapi mereka juga telah merasa mampu. Merasa siap saja tidak cukup. Hal ini karena bisa jadi kita menikah karena keinginan sesaat semata tanpa didasari dengan pertimbangan yang cukup matang. Jika ini terjadi maka pernikahan yang dilakukan di usia yang masih muda hanya sekedar mimpi dan obsesi yang tak mudah terwujudkan.
2 komentar:
kalau kita melihat sejarah gimana donk?mereka menikah muda..leluhur kita,bahkan para sahabat Nabi saw..
Bagaimana dengan Sultan Muhammad Alfateh yg menikah ketika umur -+ 20an...? Beliau pemimpin pasukan perang ketika menaklkan Turki
Posting Komentar