“Gimana skripsinya?,” itulah pertanyaan favorit yang kerap menghujani mahasiswa tingkat akhir. Memang terkesan perhatian, namun jika tak disikapi dengan bijak terkadang cukup menjemukan.
Tak hanya itu sebenarnya. Pertanyaan lain yang senada pun kerap menjadi pilihan. “Sudah kompre?.” Ya, itulah pertanyaannya. Menempati favorit kedua setelah pertanyaan yang berbau skripsi.
Namun ternyata di lingkungan mahasiswa program internasional lain lagi. Pertanyaan semacam, “TOEFL nya sudah lulus?,” nampaknya mendapat posisi favorit ketiga.
Pertanyaan berbau basa basi yang bertopik skripsi dan kompre memang seringkali terdengar di lingkungan kampus. Khususnya diantara mahasiswa tingkat akhir. Baik itu akhir semester tujuh, sembilan, sebelas, tiga belas, atau empat belas. Tak hanya pagi, siang, sore, bahkan malam pun tak jarang menyelinap melalui media handphone. Dan dalam berbagai variasi kalimat. Seperti, “Piye skripsimu?,” “Progresnya sudah sampai mana?,” “Eh, kemarin katanya bimbingan ya? Gimana hasilnya?.” Atau yang lebih menyakitkan, “Rencana ujian pendadaran kapan?”
Fiuh, galau!. Mungkin itu yang dirasakan oleh si mahasiswa tingkat akhir. Terlebih jika progres skripsinya berjalan begitu lambat. Dan sangat lambat. Nyaris berjalan di tempat.
Bayangan jadi mahasiswa abadi pun mulai berkelebatan. Rasa sesal karena tak serius kuliah sejak semester pertama mulai terpikirkan. Apalagi jika mengingat masih menjadi tanggungan orang tua. Seakan menjadi orang yang tak berguna.
Tapi begitulah riwayat perjalanan mahasiswa tingkat akhir. Selalu penuh dengan warna dan cerita. Kaya akan sensasi yang memacu adrenalin. Mulai dari dosen pembimbing yang super teliti, ujian komprehensif yang belum mendapat takdir, hingga mata kuliah yang bermasalah, menjadi rangkaian episode yang terajut dengan kusut.
Teringat sebuah jargon yang saya temukan di salah satu media jejaring sosial, “Tuhan Bersama Mahasiswa Tingkat Akhir.” Memang ada benarnya –jika tak disebut memang sangat benar-. Ibaratnya manusia pada umumnya, Tuhan, Allah swt, senantiasa berpihak untuk kebaikan manusia. Tak hanya mahasiswa tingkat akhir. Namun, seperti kata para ustadz yang sering menyampaikan ceramah agama itu, bahwa manusia sering menjadi alim ketika dalam posisi kepepet. Sehingga menjadikannya semacam tempat pelarian.
Dan bagi mahasiswa tingkat akhir, barangkali jargon itulah pelariannya. Atau, setidaknya menjadi sebuah alibi yang menentramkan hati.
Tetapi, walau bagaimana pun, yah, begitulah mahasiswa tingkat akhir.
Gambar Ilustrasi:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjH_jlJuKHpbR2qKxA3n3PEEhogNorV0YYa1WNkbqihfBaRIq1hS7K1JFaUXwVVrA5mlHH84IM0T8IYfHEZYOl-8CPJU4IDaSka47jLqF6Gv0HMqq83v-p8eYNYeMXOMhyuEK4I5z6F8vDd/s1600/nasib+mahasiswa+tingkat+akhir+-+hidup+mahasiswa.jpg
2 komentar:
Hahahaaa...
Ini sedang gue alamin bgt nih ckckck'
bosen juga ditanya dengan pertanyaan yang sama karna akan semakin bikin kita tertekan dan malu, aplg klo ortu sendiri yang nanya.
Aaaaaarrrrgghhh... rasanya pingin gak tidur seminggu dua minggu sampe skripsi selesai :(
iyaa ,
proses ini sedang saya jalani . capek bgt euy rasanyaaa ...
tapi yaa , mau gmn lg. kalau mau lulus yaa harus melalui ini dulu . SEMANGAT :D
Posting Komentar